JAKARTA – Proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di tujuh kota, yaitu DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar, dinilai masih perlu menunggu perhitungan pihak pengembang.

PLTSa di tujuh kota tersebut berkapasitas total 110 megawatt (MW), dimana PT PLN (Persero) sudah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) perjanjian jual beli tenaga listriknya dengan pemerintah daerah (Pemda) setempat.

“Sebenarnya, proyek di tujuh kota itu belum tentu bisa jalan. Harus tunggu hitung-hitungan investor atau BUMD yang akan bangun, apakah harga pembelian listrik oleh PLN dapat menutupi biaya pengolahan sampah, tanpa tipping fee,” kata Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif Indonesia Essential Services Reform (IESR), kepada Dunia Energi.

PLN diketahui telah meneken MoU pembelian tenaga listrik dari PLTSa di tujuh kota, seharga US$ 18,77 sen atau setara Rp 2.496 per kwh nya untuk Tegangan Tinggi dan Menengah. Sementara untuk Tegangan Rendah, PLN membeli seharga 22,43 sen. Langkah ini sesuai Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang ditetapkan Presiden Jokowi pada 13 Februari 2016.

Dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, semua menggunakan skema BOOT atau Buy, Own, Operate, and Transfer. Sementara, pengembangan PLTSa menggunakan thermal process atau pemanfaatan panas melalui thermochemical. Kontrak pembelian ini berlangsung selama 20 tahun. Melalui penandatanganan ini, PLN juga  menjalankan Peraturan Menteri ESDM Nomor 44 Tahun 2015 untuk membeli tenaga listrik dari PLTSa dengan tarif flat selama 20 tahun.

Faby menjelaskan, beberapa kota sudah coba mengembangkan PLTSa dan ada regulasi Feed in Tariff (FIT) yang diatur oleh Kementerian ESDM.

“Investasinya (PLTSa) mahal, dan harga listrik tersebut tidak dapat menutupi biaya pengelolaan sampah yang baik. Untuk itu diperlukan tipping fee yang dibayarkan oleh Pemda,” tandas Faby.(RA)