JAKARTA – Proyek Banyu Urip di Blok Cepu, Bojonegoro Jawa Timur menjadi proyek yang paling memberikan dampak signifikan bagi perekonomian daerah di pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam masa pemerintahan tiga tahun terakhir.

Amien Sunaryadhi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK MIgas),  mengungkapkan sejak beroperasi full pada 2016 hingga saat ini sumbangan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi di sekitar area operasi,  yakni di Kabupaten Bojonegoro mencapai 19,47% yang diaudit  Badan Pusat Statistik pada 2016.

“Banyu Urip berkontribusi untuk pelatihan pekerja lokal, pendidikan, kesehatan, pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan sosioekonomi. Proyek ini kontribusi ke Bojonegoro, yang menurut BPS pertumbuhan Bojonegoro 19,47%. Padahal proyeksinya sekitar 5%-6%,” kata Amien di Jakarta, akhir pekan lalu (27/10).

Kontribusi besar ini tidak lepas dari produksi di Banyu Urip yang saat ini berkapasitas 200 ribu barel per hari (BPH). Padahal kapasitas yang direncanakan  (Plan of Development/PoD) hanya 185 ribu BPH.

Proyek Banyu Urip juga menyerap 18 ribu lebih pekerja dengan 460 subkontraktor, serta mendukung pertumbuhan berbagai usaha jasa.

“Proyek ini berkontribusi Rp. 2,18  triliun ke Bojonegoro,” tukas dia.

Selain Proyek Banyu Urip, lima proyek besar lainnya yang mampu dikerjakan dalam tiga tahun ini adalah Lapangan Bangka yang merupakan bagian dari Indonesia Deepwater Development (IDD), salah satu proyek migas laut dalam pertama di Indonesia.

Selain Lapangan Bangka, proyek lagi yang termasuk IDD yakni Gendalo dan Gehem yang saat ini masih dalam tahap pembahasan PoD.

“Sudah onstream Agustus 2016 produksi 110 MMSCFD dan sekitar  4.000 barel kondensat per hari. Bagian IDD yang belum adalah Gendalo dan Gehem. Bangka sudah onstream,” ungkap Amien.

Proyek lainnya  adalah Donggi, Matindok dan Senoro. Donggi dan Matindok yang onstream April 2017 memiliki total kapasitas produksi 105 MMSCFD dan realisasi 90 MMSCFD. Senoro yang onstream pada September 2014 realisasi produksinya 270 MMSCFD dengan kapasitas maksimal 310 MMSCFD.

Proyek besar lainnya adalah Lapangan Jangkrik yang baru saja onstream pada Mei 2017 dan merupakan salah satu penghasil gas terbesar di Indonesia dengan total produksi mencapai 600 MMSCFD dan kondensat 3.200 BPH.

Selanjutnya adalah Proyek Lapangan Madura BD dengan kapasitas produksi 100 MMSCFD dan realisasi produksi 46 MMSCFD dan kondensat sekitar 3 ribu BPH. Menurut Amien realisasi produksi di Madura BD memang baru setengahnya karena masih ada fasilitas yang sedang dibangun.

“Pipa yang menyalurkan ke pembeli yang terbangun baru satu yakni PGN. Yang saat ini dibangun, diharapkan terbangun November adalah PT Inti Alasindo dan Pertagas. Kalau ini terbangun, 100 MMSCFD bisa diproduksikan,” kata Amien.

Lalu ada salah satu proyek Liquified Natural Gas (LNG) terbesar yang pernah dibangun di Indonesia yakni Tangguh Train 3 dengan kapasitas fasilitas produksi mencapai 3,8 MTPA atau setara 700 MMSCFD dan 3.200 ribu kondensat per hari.

“2,85 MTPA produksi LNG dialokasikan untuk pasokan ke PLN sementara 20 MMSCFD tambahan dialokasikan untuk kelistrikan Papua yang pada saat ini sedang dirancang sistem transportasi dan distribusinya bersama universitas dan Pemda,” tandas  Amien. (RI)