JAKARTA – PT Pertamina EP Cepu, operator proyek unitisasi Jambaran Tiung Biru masih menunggu surat rekomendasi realokasi dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera memulai pembangunan Jambaran Tiung Biru.

Adriansyah, Direktur Utama Pertamina EP Cepu, menyatakan setelah pengerjaan proyek sempat terhambat akibat negosiasi harga dengan Pupuk Kujang Cikampek yang akhirnya berujung buntu, kini tantangan JTB adalah menunggu persetujuan resmi dari pemerintah untuk bisa mengalokasikan gas ke induk usaha Pertamina EP Cepu yakni PT Pertamina (Persero).

Keputusan pemerintah diharapkan tidak berlarut-larut karena untuk mengejar target onstream salah satu proyek terbesar Pertamina EP Cepu tersebut. Alokasi gas Jambaran Tiung Biru ke Pertamina direncanakan akan kembali dipasarkan melalui anak usahanya, PT Pertamina Gas (Pertagas) dengan harga yang disepakati sebesar US$ 7 eskalasi 2 persen sejak onstream.

“Kita berharap semua formalitas selesai pada semester satu ini untuk mengejar target onstream pada 2020,” kata Adriansyah, Direktur Utama PEPC saat dihubungi oleh Dunia Energi.

Menurut Adriansyah, meski masih belum mendapatkan beberapa syarat formalitas secara resmi, perseroan tetap optimistis proses pembangunan proyek tetap akan bisa dilakukan pada tahun ini.
“Start project tetap kita jadwalkan di semester satu tahun ini,” tukasnya.

Harga gas yang tinggi dari lapangan Jambaran Tiung Biru sebelumnya membuat proyek ini terancam terkatung-katung karena PT Pupuk Kujang Cikampek yang awalnya direncanakan akan menyerap gas 85 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) menarik diri akibat harga yang disodorkan sebesar US$ 8 per MMBTU dianggap terlalu tinggi. Pupuk Kujang hanya menyanggupi harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU.

Mahalnya ongkos produksi menyebabkan harga keekonomian gas Jambaran Tiung Biru di angka US$ 8 per MMBTU memang akan sulit untuk diserap pasar karena dinilai terlalu tinggi.

Adriansyah mengatakan sebenarnya pemerintah bisa berperan dalam menekan harga gas Jambaran Tiung Biru. Dengan memberikan insentif sehingga bisa menekan biaya produksi sehingga gas nya pun nanti diharapkan menjadi lebih murah.
Kebijakan fiskal pun kata dia menjadi salah satu solusi yang sebenarnya bisa ditempuh. Namun diakui hal itu akan sulit tercapai karena berhubungan dengan penerimaan negara. “Kayaknya tidak ada insentif fiskal dari pemerintah,” tandasnya.

Proyek Jimbaran Tiung Biru ditargetkan bisa mulai beroperasi dengan kapasitas plant sebesar 330 MMSCFD sementara produksi clean gas sekitar 175 MMSCFD pada 2020 seiring tuntasnya pembangunan seluruh fasilitas produksi.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menyatakan saat ini evaluasi secara menyeluruh masih dilakukan dalam proyek Jambaran Tiung Biru. Pemerintah berupaya mencari celah untuk bisa menekan cost dan biaya produksi sehingga harganya gasnya bisa ditekan.

“Sama seperti yang lain kita ingin cost efisien. Tidak ada lagi cost tinggi, target harga jualnya kan nanti US$ 7 per MMBTU pada 2019,” kata Arcandra.(RI)