JAKARTA – Divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia telah tuntas dan pemerintah memberikan perpanjangan kontrak Freeport. Namun masalah yang dihadapi belum selesai.

Komisi VII DPR berencana melaporkan proses negosiasi antara pemerintah dengan Freeport-McMoRan Inc untuk perpanjangan kontrak Freeport Indonesia kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Muhammad Nasir, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengaku heran dengan kebijakan pemerintah untuk memulai negosiasi jauh sebelum kontrak berakhir. Padahal ada ketentuan yang memperbolehkan pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak sehingga tidak perlu dilakukan divestasi yang mengharuskan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum menggelontorkan dana dan berutang US$3,85 miliar untuk membeli saham Freeport Indonesia.

“Proses alih kelola Freeport saya akan laporkan dan rekomendasikan ke KPK. Kami minta semua keputusan diserahkan ke KPK, biar KPK yang tindak lanjuti,” kata Nasir disela rapat dengar pendapat Komisi VII dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai Freeport, Selasa (15/1).

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mengatakan ada berbagai alasan utama yang menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan divestasi dan memberikan perpanjangan kontrak kepada Freeport.

Ada potensi semgketa yang akan terjadi apabila tidak dilakukan proses perpanjangan kontrak Freeport. Pertama adalah hak perpanjangan diatur dalam Kontrak Karya (KK) yang dimiliki Freeport serta dalam peraturan perundangan juga tercantum hal perpanjangan dapat diberikan kepada pemilik KK sepanjang pemerintah menyetujui dan telah memenuhi persyaratan.

“Kemudian dalam aturan ada ketetapan bahwa pemerintah tidak boleh menolak atau menahan. Apabila pemegang KK telah memenuhi persyaratan dan berkinerja baik,” ungkap Bambang.

Sesuai pasal 21 kontrak karya, pemerintah dan Freeport bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara kedua pihak diselesaikan melalui perdamaian atau arbitrase UNCRITAL.

Sementara apabila melalui proses arbitrase maka diperlukan waktu paling sedikit sekitar 24 bulan sehingga akan berdampak kepada operasi tambang yang berhenti dan akan mengakibatkan dampak teknis, lingkungan, ekonomi dan sosial.

“Di UU minerba, PP juga ada aturannya bahwa perpanjangan tidak boleh diberikan saat habis kontrak, tapi sebelum kontrak habis harus sudah dibahas,” tandas Bambang.(RI)