JAKARTA-PT Timah Tbk (TINS), anak usaha PT Inalum (Persero), induk usaha BUMN pertambangan, tercatat sebagai produsen timah terbesar kedua di dunia, di bawah perusahaan China, Yunnan Tin sepanjang 2017. Namun di kawasan Asia Tenggara, Timah menempati peringkat pertama mengungguli perusahaan timah negeri jiran, yaitu Malaysia Smelting Corp dan Thaisarco, Thailand.

Berdasarkan data International Tin Research Institute (ITRI) sepanjang 2017, Timah mencatatkan produksi 30.300 ton timah, naik 27,5% (year on year) dibandingkan periode 2016 sebesar 23.756 ton. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak 2011. Sedangkan produksi Malaysia Smelting Corp turun hanya naik 1,5% dari 26.802 ton menjadi 27.200 ton. Adapun Thaisarco mencatatkan penurunan produksi 4,4% dari 11.088 ton menjadi 10.600 ton.

Di tingkat global, posisi Timah berada di peringkat kedua di bawah Yunnan Tin. BUMN tambang asal China itu mencatatkan penurunan produksi 2% (year on year/YoY) pada 2017 menjadi 74.500 ton dari 2016 sebesar 76.000 ton. Peringkat ketiga Malaysia Smelting Corp dan keempat Yunnan Chengfeng dari China dengan kenaikan produksi dari 20.100 ton pada 2016 menjadi 26.800 ton pda 2017 atau naik 33,3% YoY.

China menguasai empat dari 10 besar produsen timah di dunia. Selain Yunnan Tin dan Yunann Chengfeng, terdapat Guangxi China Tin yang mencatatkan kenaikan produksi 4,7% menjadi 11.500 tn dari 10.984 ton dan Gejiu Zi-Li yang memproduksi 8.700 ton timah atau naik 6,1% year on year dari 2016 sebesar 8.200 ton.

M Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Utama Timah, mengatakan timah perlu ekspansi ke luar negeri karena cadangan timah di Indonesia tidak terlalu besar. Hingga saat ini, China adalah negara dengan cadangan terbesar di dunia, yaitu 43% dri total 2,2 juta metrik ton. Sedangkan Indonsia hanya 15%, di atas Australia 11%, Bolivia 8%, Republik Demokratik Kongo dan Myanmar masing-masing 5%, dan Maroko 3%.”Sisa 10% lainnya adalah cadangan timah di beberapa negara,” ujar Riza di sela buka puasa bersama manajemen PT Inalum dan anak usaha di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sementara dari sisi sumber daya, lanjut Mochtar, China lagi-lagi menjadi terbesar, yaitu 35% dan Rusia terbesar kedua dengan 12% serta Australia diperingkat ketiga dengan 8%. Indonesia menempati posisi keempat dengan sumber daya 7%. Menyusul di bawahnya Brazil 6%, Jerman 4%, Kazahkstan 4%, dan negara lainnya 24%. “Sumber daya itu belum diapa-apakan, belum bernilai ekonomis,” kata Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, menambahkan.

Riza menjelaskan, sebagai bagian dari upaya perusahaan menjadi the biggest tin mining producer in the world, Timah melakukan berbagai penguatan internal khususnya dalam bidang produksi. Menurut Riza, ada tiga langkah strategis yang dilakukan perusahaan, yaitu meningkatkan confident level cadangan; pembesaran kapasitas pada mesin, dan instalasi, sarana pendukung produksi, dan rekondisi; serta pembangunan teknologi ausmelt dan fuming dalam.

“Semua itu tujuannya adalah dalam rangka meningkatkan cadangan, meningkatkan produksi dan penjualan yang pada gilirannya meningkatkan kontribusi timah kepada induk usaha,” jelas Riza.

Dia memproyeksian tahun ini laba bersih perusahaan terus tumbuh sehingga memperkuat holding dan meningkatkan dividen untuk negara. Sepanjang 2017, Timah mencatatkan laba bersih sekitar Rp 500 miliar. Namun pada kuartal I 2018, penjualan dan laba bersih turun. Pendapatan Timah tercatat sejumlah Rp 2,03 triliun per Maret 2018, turun 0,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 2,05 triliun. Sedangkan laba bersihnya turun 17% menjadi Rp 54,6 miliar dari sebelumnya Rp 65,9 miliar.

Menurut Riza, penjualan timah melambat sejalan dengan pemberlakuan beleid ekspor baru serta kondisi cuaca di dalam negeri. Kondisi itu membuat ekspor emiten berkode saham TINS itu tertahan. Akibatnya, pertumbuhan penjualan perseroan pada kuartal I 2018 di bawah target yang dipasang perseroan. Volume penjualan rata-rata 2.000 ton per bulan pada kuartal I 2018.

Ekspansi

Salah satu upaya Timah meningkatkan cadangan dan menambah pendapatan adalah dengan ekspansi ke luar negeri. Langkah ini ditempuh dengan pembetukan perusahaan patungan (joint venture) dengan Topwide Venture Ltd, perusahaan Nigeria. Nilai investasi atas kerjasama itu diperkirakan sebesar US$ 26 juta. Nilai investasi itu sudah mencakup hampir semua skala operasional dan produksi yang dibutuhkan saat ini.

Nilai investasi tersebut juga sudah disepakati oleh kedua pihak melalui pendandatanganan perjanjian kerjasama atau shareholder agreement pembentukan JV bernama Joint Venture Co. Kegiatan itu merupakan kelanjutan dari kesepakatan joint venture agreement (JVA) dengan komposisi kepemilikan saham masing-masing 50% yang dilakukan keduanya sejak Desember 2017 .

Timah bersama perusahaan asal Nigeria itu akan mengoptimalkan areal konsesi pertambangan seluas 16.000 hektare (ha). Untuk tahap awal, perusahaan ditargetkan memiliki kapasitas produksi hingga 5.000 metrik ton ingot per tahun. “Kami juga menggandeng PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) untuk kegiatan eksplorasi di Nigeria,” katanya. (DR)