JAKARTA – Kapasitas listrik yang diproduksi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bergerak pada bisnis hulu-hilir panas bumi, pada 2017 diprediksi sudah melewati produksi yang dihasilkan Chevron Indonesia. Pada tahun itu, PGE sudah mampu memproduksi listrik dari energi panas bumi sebesar 682 megawatt (MW) atau setara 29.667 BOEPD, sedagkan produksi Chevron yang berasal dari proyek Darajat dan Salak menghasilkan listrik berkapasitas 636 MW.

Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Irfan Zainuddin mengatakan Pertamina berkomitmen untuk mengembangkan potensi geothermal di Indonesia yang memiliki 40% cadangan dunia. Tahun ini, produksi listrik yang dihasilkan PGE diproyeksikan mencapai 437 MW dengan adanya penambahan dari PLTU Kamojang 5 yang berkapasitas 35 MW. Pada tahun depan pasokan listrik akan bertambah sekitar 75 MW yang berasal dari PLTU Ulubelu 3 (55 MW), Kaeaha (30 MW), Lahedong 5 (20 MW), Lumut Balai 1 (55 MW), Smal Scale Lehedong (5 MW), dan Small Scale Sibayak (5 MW) menjadi sekitar 607 MW.

“Pada 2017, penambahan kapasitas akan sangat besar mencapai 115 MW yang berasal dari Ulubelu 4 berkapasitas 55 MW dan Lahedong 5 sebesar 20 MW. Tahun ini kapasitas listrik PGE sudah mencapai 682 MW dan bisa melewati produksi Chevron,” kata Irfan, di Jakarta, Senin.

Irfan menjelaskan energi panas bumi sangat potensial dikembangkan karena merupakan green energy yang bisa dikembangkan dimanfaatkan secara terus menerus di lokasi energi tersebut ditemukan. Meurutnya, Indonesia sangat kaya dengan potensi panas bumi karena terletak di “ring of fire” . Potensi panas bumi ditaksir mencapai hampir 29 Giga Watt pada 299 lokasi prospek.

“Namun, saat ini hanya PGE yang sangat progresif mengembangkan energi panas bumi di Indonesia dibandingkan misalnya perusahaan asing seperti Chevron yang berhenti tidak lagi melakukan kegiatan eksplorasi,” terang Irfan. PGE melakukan pengembangan 8 PLTP secara paralel dengan menggunakan dana pinjaman korporasi, Bank Dunia dan JICA.

Namun, Irfan mengakui jika pengembangan panas bumi di Indonesia belum mengalami kemajuan yang signifikan. Buktinya, dari potensi 28 GW yang sudah dihasilkan hanya 1.340 MW. Hal itu terjadi lantaran terganjalnya masalah perizinan yang membutuhkan proses panjanng dan ketiadaan kemudahan fiskal sehingga investor masih belum tertarik untuk berinvestasi. “Insentif fiskal harus mendapat perhatian dari pemerintah. Bisa dari pajak, bisa dari pengurangan tarif,” kata Irfan.

Sebelumnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa bisnis pengembangan energi panas bumi di Indonesia sudah diakui oleh dunia sebagai yang terbaik setelah pemerintah menerbitkan berbagai peraturan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mengatakan,dengan ‎membaiknya peraturan tersebut membuat investor tertarik untuk menanamkan modalnya untuk mengembangkan energi dari panas bumi di Indonesia.

Rida menyebutkan, salah satu peraturan yang dianggap baik adalan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)‎ Nomor 17 Tahun 2014 tentang penerapan tarif panas bumi berdasarkan skema feed in tariff. “Salah satunya adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2014 soal tarif tenaga listrik, itu yang terbaik di dunia ini,” ungkap Rida.

Direktorat Jenderal EBTKE pun terus melakukan perbaikan regulasi untuk pengembangan energi panas bumi. Di antaranya adalah perumusan tiga Rancangan Peraturan Pemerintah ‎(RPP)sebagai turunan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang panas bumi yang diproyeksikan selesai akhir tahun ini. “Turunan UU Panas Bumi tersebut telah disusun dua dari tiga RPP. RPP bonus produksi sangat dinantikan pemerintah daerah penerima manfaat. Jadi untuk setiap KW (Kilo Watt) listrik yang diproduksikan pengembang itu sebelum dikurangi biaya operasi diserahkan ke bank pemerintah daerah sebagai bagian PAD,” katanya.(LH)