JAKARTA – Produksi minyak nasional diperkirakan hanya sekitar 332 ribu barel per hari (bph) pada 2025, anjlok 40% dibanding produksi siap jual (lifting) minyak yang ditetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 830 ribu bph.

Andrew Harwood, Senior Research Manager – Southern & South-Eastern Asia,Upstream Oil & Gas, at Wood Mackenzie, mengatakan perusahaan-perusahaan migas utama di Indonesia telah menunda investasinya hingga US$ 7 miliar sebagai imbas dari anjloknya harga minyak.Jika situasi ini berlanjut dan tidak ada perbaikan dari pemerintah, produksi migas Indonesia diperkirakan merosot hingga 40% pada 2025. Ini disebabkan penundaan sejumlah proyek migas besar seperti Masela,Tangguh, dan Indonesian Deepwater Development (IDD).

“Harga minyak yang rendah akan memperburuk produksi dan prospek eksplorasidi Indonesia yang akan mengancam cadangan migas. Terutama ketika harga minyak naik seiring defisit pasokan minyak hingga 20 juta barel per hari pada 2025,” kata Harwood di Jakarta, Selasa(10/5).

Pemerintah, lanjut Harwood diminta harus mewaspadai dampak dari tren harga minyak murah. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pengurangan belanja investasi yang dilakukanperusahaan-perusahaan migas dapat mengancam ketahanan energi nasional.

Dalam perhitungan perusahaan riset Wood Mackenzie, secara global industri migas telah mengurangi belanja investasi hingga US$ 400 miliar sejak kuartal IV 2014 hingga kuartal III 2015. Sedangkan pada tahun ini, investasi kegiatan eksplorasi diperkirakan turun sekitar US$ 40 miliar.

Menurut Harwood, saat ini dampak berkurangnya produksi bagi pemerintah akan berimplikasi terhadap penerimaan negara. Alhasil, situasi saat ini seharusnya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan dan fiskal untuk memperbaiki iklim investasi di sektor migas.

“Terutama tingkat bagi hasil produksi migas Indonesia mencapai sekitar 80%, menjadikannya termasuk yang tertinggi jika dibandingkan rata-rataglobal sebesar 62% dan Asia Pasifik sebesar 70%,” katanya.

Sejak harga minyak anjlok sekitar dua tahun lalu, perusahaan migas terpaksa mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi investasi. Implikasinya, akan menyebabkan rasio pergantian cadangan (reserve replacement ratio/RRR) menurun.

“Sehingga produksi migas Indonesia ke depannya juga akan ikut menurun,” ujar Ronald Gunawan, Indonesian Petroleum Association (IPA) board member.

IPA sendiri berharap adanya insentif temporer selama harga minyak rendah.Insentif tersebut terutama untuk memacu investasi eksplorasi dan produksi.Beberapa bentuk insentif yang dapat dilakukan saat ini antara lain,moratorium periode eksplorasi, fleksibilitas transfer komitmen untuk skemabagi hasil, dan fleksibilitas dalam mengganti tipe komitmen eksplorasi.(RI)