JAKARTA – Pelaksanaan studi kelayakan (feasibility study/FS) tentang prioritas energi baru terbarukan (EBT) dengan mempertimbangkan faktor keekonomian, sosial, budaya, dan lingkungan sebagai komitmen pelaksanaan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dianggap hal yang wajar dalam melakukan suatu proyek.

“FS merupakan langkah awal yang diperlukan dalam membuat keputusan bisnis,” ujar Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi, Jumat (25/11).

 

IMG-20160409-WA0000

Menurut Surya, persoalannya adalah siapa yang harus melakukan FS, apakah dilakukan pemerintah atau diserahkan kepada pengembang (developer).

“Keduanya punya konsekuensi daya tarik bisnis bagi developer yang akan mengimplementasi FS suatu proyek,” tandas Surya.

Komisi VII DPR sebelumnya telah meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk melakukan feasiability study tentang prioritas energi baru terbarukan dengan mempertimbangkan faktor keekonomian, sosial, budaya, dan lingkungan sebagai komitmen pelaksanaan Persetujuan Paris tentang perubahan iklim.(RA)

Permintaan DPR terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pembangunan pembangkit dan jaringan listrik tahun anggaran 2011-2014.

Temuan BPK RI terkait Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Pembangunan Pembangkit dan Jaringan Listrik tahun anggaran 2011-2014 mencakup:

  1. Potensi kehilangan manfaat atas aset senilai Rp 53 miliar dari hasil program pilot project pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 1 megawatt (MW) terinterkoneksi dengan jaringan PT PLN (Persero) karena penetapan tarif atas listrik yang dihasilkan terus tertunda.
  1. Perencanaan kegiatan pembangunan pembangkit listrik biogas berbasis limbah sawit cair (FOME) dan sampah pada Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM belum sepenuhnya memadai.
  1. Potensi kelebihan pembayaran sebesar Rp 18,199 juta dan Rp 85,16 juta pada pekerjaan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Kabupaten Solok dan PLTS terpusat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
  1. Terdapat potensi kelebihan pembayaran sebesar Rp 2, 45 miliar dan Rp 29,77 juta pada pekerjaan PLTS terinterkoneksi di Provinsi Bali I dan II.
  1. Pengendalian atas pembangunan PLTS Terpusat di Sulawesi Tengah lemah.
  1. Kelebihan pembayaran atas tiga paket pekerjaan jasa konsultan pada Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM sebesar Rp 168,54 juta.