Para karyawan Chevron selalu setia memberikan dukungan moral kepada rekan-rekannya di persidangan bioremediasi yang sarat diskriminasi.

Para karyawan Chevron selalu setia memberikan dukungan moral kepada rekan-rekannya di persidangan bioremediasi yang sarat diskriminasi.

JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta jajaran Menteri terkait dan Mahkamah Agung, didesak untuk segera bertindak guna meluruskan penanganan kasus bioremediasi PT Cheveron Pacific Indonesia (CPI) yang justru berlawanan dengan hukum positif yang berlaku di negeri ini.

Seperti diungkapkan pakar lingkungan dari Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prof M Udiharto, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebenarnya sudah bekerja optimal untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan bioremediasi di industri minyak dan gas bumi (migas).

Selain itu, Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 Tahun 2003 sebagai payung hukum bioremediasi di industri migas juga sudah efektif, karena setiap perusahaan yang terlibat selalu memberikan laporan tahunan ke KLH berdasarkan peraturan yang berlaku.

KLH juga memiliki PROPER (penilaian tentang kepatuhan prusahaan terhadap UU Lingkungan) yang diaudit setiap tahun. Sesuai Kepmen 128, sebenarnya tanggung jawab ada di tangan PT CPI bukan di tangan kontraktor maupun karyawan sebagai operator.

“Tapi ini yang dihukum justru karyawan dan kontraktor. Jadi banyak yang salah kaprah dan membingungkan dalam kasus ini,” ungkap Udiharto di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2013.

Pada kesempatan yang sama, pakar hukum administrasi dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dian Puji Simatupang juga menjelaskan, sesuai hukum positif Indonesia, dalam menangani kasus bioremediasi Kejaksaan seharusnya berkoordinasi dulu dengan KLH sebelum mengangkat kasus itu.

“Presiden juga seharusnya membentuk tim audit yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi aparatur hukum dalam menangani kasus ini,” tutur Dian Puji.

Sebenarnya, lanjut Dian Puji, sudah jelas bahwa kasus ini masuk ke ranah hukum administrasi. Namun menjadi seperti sekarang karena hakim tidak memahami persoalan dengan benar.

Maka dari itu, ujar Dian lagi, seharusnya dibuat tim panel yang terdiri dari tiga orang pemeriksa (sebagaimana diatur dalam UU Lingkungan) sehingga pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran lingkungan tidak bergantung pada Kejaksaan.

“Seharusnya Presiden, Menteri atau Mahkamah Agung menyarankan hal ini kepada hakim. Karena dari sisi perhitungan kerugian negara saja sudah tidak benar, mengingat BPKP jelas-jelas sudah tidak lagi berwenang untuk memeriksa kerugian keuangan negara, namun tetap saja hasil auditnya dijadikan alat bukti oleh kejaksaan,” tandasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)