Khairul Rizki, Sekjen Permata 2011 - 2013.

Khairul Rizki, Sekjen Permata 2011 – 2013.

JAKARTA –  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta tegas, dalam menyikapi insiden atau kecelakaan beruntun yang terjadi di tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia. Musibah yang merenggut nyawa puluhan anak bangsa ini, merupakan raport merah dunia pertambangan Indonesia, dan bukti kegagalan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dalam pengawasan keselamatan kerja.

Desakan ini diungkapkan Khairul Rizki, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan (Permata) Indonesia Periode 2011 – 2013, menyusul rencana aksi mogok kerja karyawan Freeport di Papua hari ini, Jumat, 14 Juni 2013, sebagai wujud keprihatinan mereka atas kurangnya perhatian pemerintah terhadap kecelakaan kerja di tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia itu.

Menurut Rizki, mestinya sejak awal Presiden SBY memberikan perhatian lebih kepada kasus kecelakaan di tambang bawah tanah Freeport itu. Yakni ketika awal kejadian runtuhnya terowongan tambang Big Gossan yang mengubur 38 pekerjanya, pada 14 Mei 2013 lalu.

“Presiden tidak cukup berkomentar lewat media di Jakarta. Sepantasnya Presiden terbang ke Papua, menyampaikan langsung belasungkawa kepada keluarga korban, serta memantau dari dekat upaya evakuasi korban,” ujar Rizki kepada Dunia Energi di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2013.

Sikap yang ditunjukkan Presiden SBY, lanjutnya, sungguh berbeda dengan Presiden Chili, Sabastian Pinera yang memimpin langsung operasi penyelamatan 33 korban terjebak pada tambang emas bawah tanah Emoresa Minera San Esteban, 5 Agustus 2010 silam.

Memang, kata Rizki, tambang Big Gossan di Papua tidak ada apa-apanya jika dibandingkan tambang Emoresa di Chili. Korban yang terjebak di Emoresa diketahui masih hidup saat operasi penyelamatan berlangsung. Sedangkan di Big Gossan, hanya 10 yang berhasil selamat, 28 lainnya meninggal.

“Namun apa pun, mereka yang menjadi korban adalah anak-anak bangsa, yang berhak mendapat perhatian dari kepala negaranya. Mereka sudah mengambil risiko, menggali mineral berharga dari bawah tanah untuk penerimaan negaranya, sudah sepantasnya mereka mendapat perhatian langsung dari seorang kepala negara,” tandas Mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Trisakti ini.  

Terlebih lagi pasca evakuasi korban di Big Gossan yang berlangsung hingga 22 Mei 2013, lanjut Rizki, pemerintah hanya enam hari menghentikan operasi pertambangan Freeport di Papua. Yakni sampai Tim Investigasi Independen yang dibentuk pemerintah selesai bekerja dan mengeluarkan rekomendasi pada 28 Mei 2013. Pasca itu, Freeport Indonesia diizinkan menjalankan aktivitas produksi kembali, kecuali di areal tambang bawah tanah.

Tambang Freeport Belum Aman

Rizki juga menilai, apa yang dilakukan pemerintah terhadap Freeport ini, sangat berbeda dengan yang dilakukan terhadap tambang batubara PT Kideco Jaya Agung di Kabupaten Penajam, Kalimantan Timur pada 2010. Tambang itu dihentikan total aktivitasnya oleh pemerintah, setelah tujuh pekerjanya tewas dalam kecelakaan kerja selama enam bulan berturut-turut.

Dunia Energi mencatat, pemerintah saat itu menutup operasi pertambangan Kideco selama satu bulan, hingga dilakukan pergantian Direktur Operasi. Pemerintah saat itu meminta Kepala Teknik Tambang Kideco juga diberi jabatan Direktur Operasi, sehingga memiliki wewenang penuh untuk mengambil keputusan, terutama yang menyangkut keselamatan kerja. Namun ini tidak dilakukan pada Freeport.   

Alhasil, ujar Rizki, tiga hari setelah Freeport beroperasi kembali yakni pada 31 Mei 2013, terjadi lagi kecelakaan di areal perusahaan itu. Seorang operator truk terkubur longsoran material bijih basah (wet muck) di tambang bawah tanah DOZ, sehingga kritis. Kabar terakhir, pekerja yang menjadi korban longsoran di tambang DOZ itu, akhirnya meninggal dunia.     

Freeport memang sempat merilis, penyebab kecelakaan di DOZ ialah pelaksanaan kerja yang tidak sesuai prosedur keselamatan. Namun menurut Rizki, kecelakaan pada 31 Mei 2013 itu sebenarnya menunjukkan, tambang Freeport di Papua belum berada dalam kondisi aman. Ia juga mengaku heran, apa yang menyebabkan pemerintah begitu cepat merekomendasikan Freeport beroperasi kembali, pasca kecelakaan yang merenggut nyawa 28 pekerja.

Ditjen Minerba Gagal

Apa pun alasan pemerintah dan manajemen Freeport, kata Rizki, begitu cepatnya operasi pertambangan kembali dimulai pasca kecelakaan, menunjukkan pemerintah dan manajemen Freeport tidak sungguh-sungguh berduka, atas gugurnya puluhan korban pekerja di tambang itu. Tak heran jika kemudian karyawan Freeport merencanakan mogok, sebagai aksi solidaritas atas sejawatnya yang tewas.

“Jangan-jangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia telah bekerjasama melakukan pembohongan publik, dengan menyatakan bahwa operasional penambangan bawah tanah masih dihentikan pasca kecelakaan. Buktinya, jatuh lagi korban pekerja akibat kecelakaan di areal tambang bawah tanah Freeport,” tukasnya.

Maka dari itu, lanjut Rizki, Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian ESDM, terutama Presiden SBY harus tegas terkait sanksi atas PT Freeport Indonesia. Agar pemerintah tidak membeda-bedakan status PT Freeport Indonesia, yang merupakan perusahaan asal Amerika dengan perusahaan lainnya. Karena ini terkait nyawa anak Bangsa yang turut berkontribusi pada perekonomian negara.

Rizki juga menilai, kecelakaan beruntun di tambang bawah tanah Freeport Indonesia yang menewaskan total 29 korban, meupakan raport merah bagi dunia pertambangan Tanah Air tahun ini. “Hal ini juga membuktikan bahwa Kementerian ESDM terutama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, telah gagal total dalam pengawasan keselamatan kerja,” tegasnya.

Kegagalan itu, ucap Rizki lagi, bakal semakin parah jika Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, tidak mengambil keputusan yang jauh lebih tegas, dari Keputusan penutupan Tambang PT Kideco Jaya Agung pada 2010 lalu.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)