JAKARTA – Selama puluhan tahun Martiono Hadianto mengabdi pada Republik ini. Dia meniti karirnya di Departemen Keuangan dari bawah . Sebelum pensiun sempat menduduki beberapa jabatan penting eselon I, antara lain Dirjen Bea Cukai dan Dirjen BUMN. Dia juga sempat menduduki kursi Direktur Utama Pertamina, dan Komisaris Utama PT Pertamina.
Nasionalismenya tak perlu diragukan . Atas kinerja dan sumbangsihnya kepada negara, dia dianugerahi Bintang Mahaputra Utama dari Presiden.Tapi Mengapa tiba-tiba PT NNT (Newmon Nusa Tenggara) yang dipimpinnya justru mengunggat Pemerintah Indonesia ? Benarkan gugatan itu untuk kepentingan pemegang saham asing? “ Persepsi itu keliru. Gugatan arbitrase Newmont demi kepentingan nasional,” ujar Martiono dalam kesempatan berbuka dengan sejumlah editor media massa di Jakarta
Pada 1 Juli lalu, PT NNT yang saham mayoritasnya dikuasai Nusa Tenggara PartnershipBV menggugat pmerintah Indonesia ke arbitrase internasional atau International Center for the Settlement of Investment Disputes pada 1 Juli lalu. Dalam gugatan tersebut, Newmont menuntut putusan sela agar perusahaan bisa beroperasi kembali, termasuk membolehkan perusahaan mengekspor konsentra
Sejak Januari 2014, NNT sudah menghentikan ekspor, menyusul penerapan bea keluar yang dianggap memberatkan. Dalam beleid yang dikeluarkan Kementrian Keuangan tu diputuskan bea keluar berlaku progresif antara 25%-60%. Stok konsentrat pun akhirnya menumpuk . Stok jumlah konsentrat milik Newmont saat ini sudah 93.800 ton, sedangkan kapasitas gudang hanya 90.000 ton.
Martiono menjelaskan, berhentinya operasional tambang Batu Hijau sangat merugikan rakyat dan pemerintah Indonesia, Berdasarkan data NNT (audited) , pada periode 2000-2013 total pendapatan NNT mencapai US$ 13,1 miliar (Rp 153,3 triliun). Dari total pendapatan itu, sebesar US$ 8,83 miliar atau 67,2 persen untuk kepentingan nasional
Rinciannya, dalam bentuk pajak dan setoran lain sebesar US$ 3,1 miliar, sebesar US$ 5,2 miliar dibelanjakan kepada pemerintah Indonesia berupa pembelian barang dan jasa, sedangkan US$ 459 juta dinikmati investor Indonesia. “Kue yang dinikmati pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia sekitar 67,2 persen,” kata Martiono.
Sementara pemegang saham asing lanjut Martiono, hanya mendapatkan US$ 4,3 miliar atau 32,8 persen dari total pendapatan perusahaan dari tambang Batu Hijau. Dari total jumlah itu, sebesar US$ 950 juta dalam bentuk dividen. Saat tambang batu hijau dimulai, pemegang saham asing menyetorkan dana seebsar US $ 900 juta. Jadi selama tiga belas tahun beroperasi, baru me nikmati keuntungan sekitar US $50 juta (HT/dunia-energi@yahoo.co.id