JAKARTA – Penurunan produksi minyak dan gas nasional salah satunya disebabkan aktivitas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang lebih banyak dilakukan di wilayah barat Indonesia. Saat ini sebagian besar sumur-sumur migas di wilayah barat sudah berumur tua dan tentu mengalami penurunan produksi alamiah (decline) yang tinggi.

“Yang mature yang dieksplorasi ini semua di sisi barat. Di timur baru sembilan persen. Ini tantangan kita ke depan,” ujar IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada diskusi yang digelar Indonesian Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Rabu (29/3).

Data Kementerian ESDM menunjukkan potensi wilayah timur cukup besar. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan ternyata ada lebih dari 100 cekungan yang diperkirakan memiliki kandungan hidrokarbon. Namun baru sekitar 30 cekungan yang dikaji dan dilakukan proses eksplorasi cukup detail.

Menurut Wiratmaja, disisi lain upaya meningkatkan kegiatan eksplorasi terbentur tantangan teknis yang cukup besar, seperti pembiayaan yang terus meningkat karena harus dilakukan di daerah frontier atau pedalaman.

“Masalahnya lokasi di frontier. Artinya risikonya tinggi dan modal yang dibutuhkan besar sekali,” ungkap dia.
Untuk itu, pemerintah berupaya mengubah kondisi tersebut dengan terus mendorong perusahaan migas merubah paradigma usaha dalam melakukan kegiatan operasi melalui kebijakan yang telah dan akan disiapkan.

Wiratmaja mengatakan sektor hulu migas harus dibuat menjadi lebih atraktif karena kemajuan teknologi sekarang membuat persaingan semakin ketat. Bahkan, Indonesia terus melorot peringkatnya dari sisi keatraktifan usaha. Hal itu bisa dilihat dari nilai return yang dijanjikan pemerintah kepada pelaku usaha yang terus melorot persentasenya.

“Return yang kita berikan ke mereka (pelaku usaha) sangat rendah. Memang ada yang lebih jelek, tapi yang jelas kita kurang atraktif,” tukasnya.

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menyatakan pemerintah tetap berkomitmen menjadikan migas sebagai industri yang dapat diandalkan negara. Kontribusi migas terhadap keuangan negara memang terus menurun. Jika pada 2014 penerimaan migas di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 320 triliun, pada 2015 anjlok lebih dari setengahnya yakni sebesar Rp 136 triliun. Bahkan turun lagi menjadi Rp80 triliun pada tahun lalu.

Namun jika dilihat sebagai economic driver dan penunjang berbagai industri lain, sektor migas justru tetap dapat diandalkan. Untuk itu Suahasil berharap berbagai kebijakan yang disiapkan dapat berefek pada peningkatan aktivitas operasi migas. “Kami ingin memastikan bahwa industri ini bergerak. Jadi penerimaan negara itu penting, tapi bukan satu-satunya tujuan,” tandas Suahasil.(RI)