JAKARTA – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah menindaklanjuti potensi kerugian dari indikasi pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia. PWYP menyebut berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penerapan kontrak karya Freeport pada periode 2013-2015, indikasi pelanggaran lingkungan Freeport ditengarai menimbulkan kerugian hingga Rp 185 triliun.

“Persoalan ini harus didalami dan dijadikan bahan pembahasan dalam proses renegosiasi Kontrak Karya Freeport yang saat ini tengah berlangsung,” ujar Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Kamis (18/5).

Marwati menekankan persoalan lingkungan tidak kalah pentingnya dengan persoalan-persoalan lain dalam renegosiasi yang sebagian besar menyangkut aspek ekonomi seperti perpajakan, divestasi, dan kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia menambahkan dalam proses renegosiasi kontrak karya Freeport, pemerintah terkesan tidak berdaya, setelah terjadi saling ancam untuk melaporkan ke arbitrase.

“Akhirnya, pemerintah tetap mengeluarkan izin ekspor konsentrat untuk jangka waktu setahun ke depan melalui ketentuan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang notabene bertentangan dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU 4/2009),” ungkap dia.

Kebijakan yang dianggap bertentangan dengan UU tersebut, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, saat ini sedang digugat di Mahkamah Agung (MA).

Selain persoalan lingkungan, terdapat indikasi pelonggaran nilai bea keluar yang dikenakan kepada Freeport dari yang seharusnya 7,5% namun hanya dikenakan 5%. “Jika hal tersebut benar terjadi, maka menjadi potensi kerugian negara lagi,” tegas Aryanto.

PWYP mencatat tarif bea keluar yang dikenakan ke Freeport berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2017 perhitungannya merujuk pada kemajuan fisik pembangunan smelter. Jika perkembangannya masih di bawah 30% maka dikenakan bea keluar sebesar 7,5%.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka potensi kerugian negara atas selisih bea keluar dari ekspor konsentrat tembaga dengan kadar CU <= 15% selama setahun ditaksir mencapai Rp 586 miliar, menggunakan asumsi : Harga Patokan Ekspor (HPE) bulan Mei (Rp. 1619.64 USD/WMT); Nilai Kurs 1 USD = Rp. 13.000; dan Total volume tembaga kadar CU >= 15% sesuai izin ekspor konsentrat yang diberikan Pemerintah ke Freeport sejumlah 1.113.105 WMT (Wet Metric Ton).
Dalam paparan draf laporan BPK, ditemukan sejumlah potensi pelanggaran lingkungan yang dilakukan Freeport Indonesia. Berikut lima poin utama potensi pelanggaran tersebut:

1. Freeport telah menggunakan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasionalnya dengan luasan mencapai 4.535,9 hektare (ha), yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi UU. Terdapat potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 270,83 miliar atas penggunaan lahan hutan lindung tersebut terhitung sejak tahun 2008-2015.

2. BPK menemukan adanya kelebihan pencairan dana jaminan reklamasi (JamRek) sebesar US$1,43 juta, atau setara Rp 19,43 miliar, dimana hasil analisis Sistem Informasi Geografis (GIS) menunjukkan adanya tumpang tindih pelaksanaan reklamasi antara blok/wilayah satu dengan blok/wilayah lainnya. Sehingga, pemerintah mencairkan kelebihan dana Jamrek milik Freeport.

3. Freeport belum menyerahkan kewajiban jaminan pasca tambang untuk periode 2016 sebesar US$ 22,28 juta, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 26 Kontrak Karya maupun dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

4. Aktivitas pembuangan limbah tambang Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan baik di sungai, muara, estuaria termasuk kawasan laut. Kondisi tersebut menyebabkan potensi kerugian sebesar Rp 185,01 triliun atau setara dengan seluruh nilai ekosistem yang dikorbankan.

5. Freeport telah melaksanakan kegiatan pertambangan di bawah tanah atau Deep Mill Level Zone (DMLZ) tanpa adanya Izin Lingkungan.(RA)