JAKARTA – Potensi investasi pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis besi, tembaga, nikel, alumina, timah dan logam ikutannya dinilai masih terbuka. Apalagi sesuai amanah dari pasal 103 dan 170 Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pelaku usaha pertambangan mineral wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral.

R Sukhyar, Ketua Asosiasi Smelter dan Pengolahan Mineral Indonesia (ISPA), mengatakan peran aktif pemerintah dalam memfasilitasi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang banyak jumlahnya sangat diharapkan sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan peningkatan nilai tambah. Neraca dan demand harus dilakukan sebagai basis dalam memasok mineral mentah (ore) secara berkelanjutan dan mengontrol tingkat produksi dan harga komoditi.

“Kesinambungan pasokan bijih perlu dilakukan baik untuk smelter yang izinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM maupun Perindustrian. Kedepan, diharapkan tidak ada lagi overlapping perizinan pengolahan dan pemurnian,” kata dia di Jakarta, Rabu.

Menurut Sukhyar, untuk komiditi timah sudah saatnya tidak lagi fokus pada pemurnian bijih, tapi sudah pada posisi mengembangkan industri kimia berbasis timah dan industri hilir lainnya. Pengembangan lainnya adalah produksi logam ikutan seperti unsur tanah jarang.

Indonesia memiliki potensi mineral logam yang beragam jenisnya. Keterdapatannya sebagian besar tersebar. Namun demikian, terdapat jenis logam seperti nikel, timah dan bauksit pada wilayah tertentu. Masing-masing di Sulawesi, Bangka Belitung dan Kepualauan Riau, serta Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Menurut Sukhyar, kebijakan peningkatan nilai tambah telah memberikan hasil. Banyak pelaku usaha yang mengajukan pembangunan smelter dan tengah menyelesaikan pembangunannya.

“Enforcement pemurnian secara tegas baru dimulai Januari 2014, perlu kesabaran melihat kemajuan pembangunan smelter,” ungkap dia.

Masalah lain, kata Sukhyar, penyelesaian pembangunan smelter semakin sulit mengingat kondisi ekonomi global saat ini dan harga komoditi yang rendah. Dampak kondisi ekonomi global tersebut juga berdampak kepada kontribusi ekonomi smelter yang belum optimal.

“Dalam kondisi ekonomi global saat ini, banyak smelter nikel dan baja China harus menghentikan produksinya bahkan tutup. Kalaupun harus melakukan investasi smelter, sangat kompetitif apabila dilakukan dekat sumber daya mineral berbeda,” tandas dia.

Saat ini ada 72 smelter mineral yang dalam tahap penyelesaian. Jumlah tersebut, terdiri atas smelter nikel (35 smelter), bauksit (7 smelter), besi (8 smelter), mangan (3 smelter), zircon (11 smelter), timbal dan seng (4 smelter), serta kaolin dan ziolit (4 smelter).

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah konsisten mengimplementasikan program hilirisasi mineral melalui kewajiban membangun smelter sesuai amanat Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba. Dalam hal ini, implementasi yang berkesinambungan sangat dibutuhkan melalui sinergis setiap elemen, antara lain dari sisi regulasi, investasi, maupun sinkronisasi antara sektor industri hulu dan hilir pertambangan agar manfaat dan nilai tambah yang ditetapkan dapat tercapai.

“Pemerintah terus melakukan supervisi yang intens terhadap kemajuan pembangunan smelter yang sedang dibangun serta memberikan dukungan untuk mendapatkan fiskal,” kata dia.

Bambang menjelaskan, ada enam fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral yang mulai beroperasi di tahun ini, dan tiga smelter beroperasi di tahun 2016. Enam smelter nikel sudah beroperasi di 2015, dan rencananya 2016 menyusul tiga smelter. Kapasitas smelter nikel di tahun ini sekitar 524.000 ton, dan 767.000 ton di tahun 2016. Smelter untuk bauksit juga diperkirakan akan beroperasi pada tahun depan dengan kapasitas sebesar 4 juta ton per tahun.

Pola Bisnis

Sukhyar mengatakan kewajiban membangun smelter menyebabkan pola bisnis perusahaan mineral tambang dalam negeri berubah. Perubahan pola bisnis ini membawa dampak perubahan pada investasi, strategi, dan proyeksi keekonomian untuk setiap perusahaan.

“Dari sebelumnya eksplorasi, produksi, dan pengangkutan (dalam dan luar negeri) menjadi eksplorasi, produksi, pengolahan dan pemurnian, dan pengangkutan (dalam dan luar negeri),” ungkap dia.

Di lain pihak, menurut Sukhyar, kewajiban membangun smelter ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal bagi industri dalam negeri, pendapatan negara, dan manfaat untuk masyarakat.

Sukhyar mengatakan konsistensi pemerintah dalam menerapkan program hilirisasi melalui kewajiban membangun smelter tersebut patut didukung karena akan membawa perubahan mendasar pada manfaat yang akan timbul dalam jangka panjang yang secara berkesinambungan dirasakan oleh negara dan masyarakat.

Kendati demikian, upaya mewujudkan hilirisasi tambang ini tidak harus dibebankan sepenuhnya pada pengusaha. Kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta dibutuhkan agar perubahan pola bisnis perusahaan mineral tambang tetap dapat kompetitif sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.(RA)