JAKARTA – Pemerintah kembali merubah struktur organisasi di PT Pertamina (Persero) dengan menghapus jabatan wakil direktur utama yang semula diisi Ahmad Bambang.

“Jadi nanti sudah tidak ada lagi wadirut di struktur organisasi yang baru,” kata Tanri Abeng, Komisaris Utama Pertamina di Kantor Kementerian BUMN, Jumat (3/2).

Dewan Komisaris juga akan melakukan kajian untuk merubah struktur organisasi. Ada dua opsi dalam ide di struktur baru nantinya antara lain posisi Wadirut akan diganti oleh direktur yang membidangi sektor baru atau opsi lain struktur dikembalikan lagi dengan posisi delapan direksi.

“Karena direktur pengolahan dan pemasaran. Kalau pun ada dua lagi, dirut atau direktur pemgembangan atau apa lah. Nama wadirut tidak ada,” papar Tanri.
Dengan dihapusnya jabatan Wadirut maka diharapkan tidak ada lagi potensi dualisme kepemimpinan di Pertamina.

Menurut Tanri, banyak permasalahan timbul sejak adanya posisi wakil dirut, salah satunya adalah proses pengambilan keputusan. Hal itu bukan disebabkan oleh struktur organisasi melainkan kurangnya sinergi antar individu yang ada di dalam perusahaan.

“Tentu itu kita lihat dari proses pengambilan keputusan yang sangat lamban. Kita bisa lihat. Lebih jelas lagi dampaknya setelah ada wadirut,” ungkap dia.

Salah satu lambatnya pengambilan keputusan yang dianggap dewan komisaris menghambat kinerja perusahaan adalah proses penyeleksian tenaga ahli yang dibutuhkan namun tidak juga terealisasi, seperti jabatan direktur salah satu anak perusahaannya yakni PT Pertamina Gas (Pertagas). “Iya itu pun terlambat. Ada yang masih kosong,” katanya.
Demikian pula dalam permintaan pengalokasian impor solar yang menjadi kewenangan wadirut, namun keputusan tetap menjadi kewenangan dari dirut. Dalam perjalanannya dirut tidak kunjung menandatangani akhirnya wadirut yang tandatangan.

“Jadi dianggap dia sebagai pengambilalih tugasnya atau kewenangannya dirut. Itu semua kan mestinya tidak terjadi,” ungkap Tanri.

Pemerintah sendiri membantah penggantian direksi perusahaan migas nasional terbesar ini dilakukan dengan terburu-buru. Karena sebelumnya pemegang saham dan dewan komisaris sudah terlebih dulu membahas adanya ketidakcocokan dipucuk pimpinan Pertamina sejak lama.

Gatot Trihargo Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Kontruksi dan Jasa Lain Kementerian BUMN, mengatakan pembahasan penyegaran direksi dibahas sejak banyaknya proses pemgambilan kebijakan perusahaan yang dinilai terlambat dan justru disebabkan oleh kurangnya kerja sama di jajaran tertinggi perusahaan. “Misalnya managemen tidak berani mengambil keputusan, maka proyek itu akan tertinggal. Jadi masalah kecepatan mengambil keputusan itu akan menetukan Pertamina ke depan,” kata Gatot.

Dia menjanjikan bahwa perombakan struktur organisasi Pertamina tidak akan sampai menganggu kinerja perusahaan karena pada dasarnya pemerintah terus mencari formula terbaik untuk bisa mengembangkan Pertamina.
“Perlu kerjasama, ini kan kerja tim, tidak hanya satu dua orang, Kita berusaha yang terbaik untuk Pertamina yang perusahaan besar ini,” tandas Gatot.

Namun menurut Yusri Usman, pengamat energi dan juga Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, upaya pelengseran Dwi Soetjipto dari posisi direktur utama Pertamina sebenarnya telah dimulai sejak 8 Agustus 2016.
“Rapat dewan komisaris Pertamina yang dilakukan pada Senin (8/8), soal usulan perubuhan struktur organisasi, diduga dilakukan sebagai bagian upaya untuk melengserkan Dwi Soetjipto dari kursi direktur utama,” ungkap dia.

Yusri mensinyalir hal ini disebabkan gesekan antara Dwi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno terkait isu reshuffle kabinet sebelum 27 Juli lalu. Saat itu santer terdengar bahwa Dwi Soetjipto berpeluang untuk menggeser posisi Rini, meskipun pada akhirnya posisi keduanya tidak berubah.

“Bisa jadi perubahan struktur Pertamina saat itu hanya sebagai jalan untuk mengeser Dwi atau setidaknya menjepit posisinya dengan rencana mengangkat Ahmad Bambang sebagai wakil direktur utama, setelah disetujuinya struktur organisasi baru oleh menteri BUMN nanti,” kata dia.

Menurut Yusri, dugaan itu semakin kuat dan nyata ketika surat usulan perubahan struktur organisasi dilakukan disaat
Dwi, selaku direktur utama Pertamina sedang berada di luar negeri. Kemudian ditambah dengan adanya wacana akan mengganti posisi Dwi yang sudah beredar luas dan akan digantikan oleh Ahmad Bambang atau dengan Sofyan Basir
apakah konsep perubahan struktur organisasi Pertamina tersebut merupakan hasil pembahasan antara dewan komisaris dengan dewan direksi Pertamina.

“Jika benar tidak diketahui oleh jajaran direksi, cukup mengundang keanehan atas langkah yang dilakukan dewan komisaris,” kata dia.

Menurut Yusri, dalam era globalisasi perdagangan dan harga minyak mentah yang saat ini rata-rata berada di bawah US$ 45 per barel ,sepanjang hampir dua tahun ini, bisa dikatakan semua perusahaan minyak dunia mengurangi karyawan dan merampingkan organisasinya.

“Namun ini berbeda dengan proses transformasi bisnis yang dilakukan Pertamina yang malah makin membuat organisasinya semakin gemuk. Ini bisa jadi anomali. Apakah yang dilakukan Pertamina ini merupakan teori baru manajemen krisis dalam mengefisiensikan perusahaan?,” Yusri.(RI/RA)