JAKARTA – PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum telah resmi menjadi induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara sektor pertambangan setelah menguasai saham pemerintah di tiga perusahaan tambang, yakni PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk.

Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies, mengatakan holding BUMN tambang merupakan sesuatu yang positif untuk konteks saat ini. Pengelolaan holding harus lincah dan tidak birokratis seperti pada umumnya,

“Visi perusahaan jangan cuma sebatas periode pengurusnya (direktur dan komisaris), namun harus melihat integrasi dan unitnya disinergikan. Ini perlu orang-orang yang mempunyai visi yang kuat dan mumpuni,” ujar Budi kepada Dunia Energi, Kamis (30/11).

Menurut Budi, holding dibuat untuk tujuan “strategic invesment” yang bisa dipergunakan, salah satunya adalah integrasi usaha secara vertikal atau horizontal. Selain untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan permintaan pasar.

“Pengusahaan selama ini selalu terbentur kepada permodalan, dengan adanya holding maka portofolio akan naik dan kemudahan untuk mencari modal akan lebih mudah,” kata dia.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 mengatur tentang Penambahan Penyertaan modal Negara ke dalam modal saham Inalum.

“Dengan masuknya tiga BUMN otomatis aset Inalum naik dari Rp 21 triliun menjadi Rp 88 triliun,” ujar Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum.

Dengan beralihnya saham pemerintah di Antam, Bukit Asam dan Timah ke Inalum, ketiga perusahaan tersebut resmi menjadi anggota Holding BUMN Pertambangan, dengan Inalum sebagai induknya (Holding).

Sesuai dengan PP 72 Tahun 2016, meski berubah statusnya, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis. Negara memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan itu, baik secara langsung melalui saham Seri A Dwi Warna, maupun tidak langsung melalui Inalum.(APS)