JAKARTA– Inilah kenyataan pahit yang dialami badan usaha milik negara (BUM N) di sektor minyak dan gas bumi. Akibat kebijakan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang cenderung liberal, PT Pertamina (Persero), BUMN di sektor energi terintegrasi kena dampaknya. Salah satunya adalah porsi hulu perusahaan di dalam negeri sangat rendah dibandingan dengan BUMN migas negara lain (national oil company/NOC), terutama Petronas Malaysia.

Menurut data yang dikutip dari Pertamina, sepanjang 2016, total working interest untuk produksi migas di dalam negeri Pertamina tercatat 525 kboepd. Sementara porsi produksi Non-NOC sebesar 1.653 kboepd. Artinya, porsi Pertamina sebagai NOC pada produksi migas sepanjang tahun lalu hanya sebesar 24%. Sebanyak 76% porsi sisanya mayoritas dikuasai oleh produsen-produsen migas multinasional seperti Chevron, MobilOil, Total, dan ExxonMobil. Total produksi migas porsi NOC dan Non-NOC di Indonesia tahun lalu sebesar 2.177 kboepd

Persentase produksi migas Pertamina dari dalam negeri, juga lebih rendah dengan Petronas. Di negaranya, Petronas memiliki porsi produksi migas hingga 50%, yaitu 858 kboepd. Sementara produksi migas non-NOC sebesar 875. Total produksi migas di Malaysia tercatat 1.733 kboepd.

Dibandingkan sejumlah NOC di empat negara lain seperti Brazil, Aljazair, China, dan Arab Saudi, produksi migas Pertamina di dalam negeri juga masih kalah jauh. Petrobras Brasil misalnya sanggup memberi porsi 82% produksi dalam negeri dengan total 2.341 kboepd dari total produksi migas 2.869 kbeopd. Produksi non-Petrobas hanya mendapatkan porsi sedikit saja, yaitu 528 kbeopd.

Aljazair juga agak lebih baik. Porsi domestik BUMN Aljazair, Sonatrach, tercatat 2.144 atau 78% dari total produksi migas di negara itu 2.759 kbeopd. Artinya, produksi non-NOC hanya 614 kbeopd.

Sementara China dan Arab Saudi, termasuk negara yang sangat protektif terhadap NOC-nya. Ini terbukti dari kontribusi NOC kedua negara tersebut yang di atas 90%. China misalnya, NOC-nya memproduksi migas 5.639 kboepd atau 93% dari total produksi migas tahun lalu 6.090 kboepd. Sementara produksi non-NOC hanya 451 kboepd. Adapun Arab Saudi, 99% produksi migasnya melalui NOC mereka, yaitu Saudi Aramco dengan 13.583 kboepd dari total produksi sepanjang tahun lalu 13.622. Sedangkan produksi non-NOC Arab Saudi hanya 40 kboepd.

Dwi Soetjipto, saat menjabat Direktur Utama Pertamina, mengatakan Pertamina sebagai NOC sebenarnya sangat lambat berkembang. Tulang punggung NOC seharusnya menguasai upstream (sektor hulu) yang besar. Di Indonesia, yang pasarnya cukup besar, yakni sekitar 1,6 juta barel minyak per hari (bph), kapasitas kilang perseroan hanya 800 ribu bopd. Dari jumlah kebutuhan itu, produksi Pertamina hanya sekitar 300 ribu bph. Itu berarti cuma sekitar 20-23 persen dari produksi migas nasional.

“Selama ini Pertamina kurang diberikan kewenangan. Padahal, cadangan minyak itu milik negara. Jadi, harus dikelola negara lewat tangan-tangan negara yang bergerak di bidang bisnis itu. Pertamina harus siap dijadikan alat negara untuk mengelola aset negara tadi,” ujarnya.
 
Dia mengakui risiko di sektor hulu itu tinggi. Dalam rangka mengelola risk management, Pertamina sebagai alat negara semestinya bermitra dengan swasta dan International Oil Company (IOC). Dengan peran NOC yang lebih kuat, bisa dikembangkan teknologi yang dibawa oleh IOC. “Kalau kita lihat, NOC-NOC yang ada pada umumnya belum mampu mengembangkan teknologi sendiri. Jadi, IOC punya teknologi dan kami bermitra di situ,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dengan masih jomplangnya porsi NOC (Pertamina) pada produksi migas domestik, sejatinya perlu dukungan dari pemerintah untuk memberikan keistimewaan kepada salah satu BUMN terbesar di Tanah Air. Kebijakan pemerintah yang memberikan prioritas kepada Pertamina untuk mengambil blok migas yang telah habis kontrak adalah kebijakan strategis untuk meningkatkan porsi NOC dalam produksi migas domestik.

Di luar itu, Pertamina melalui Lima Prioritas Strategis di sektor hulu, juga menyiapkan sejumlah program. Sedikitnya ada enam langkah yang dipersiapkan oleh perusahaan demi meningkatkan kinerja produksi hulu migas. Pertama, peningkatan eksplorasi. Kedua, operational excellence. Ketiga, optimasi pengembangan lapangan. Keempat, pengambilalihan secara selektif blok-blok yang akan habis masa kontraknya. Kelima, ekspansi dan pengembangan aset-aset internasional. Keenam, akselerasi pengembangan geothermal, energi baru dan terbarukan.

Menurut RKAP 2017, Pertamina menargetkan produksi minyak mentah tahun ini mencapai 334 mbopd, naik dibandingkan tahun lalu 312 mbopd yang meningkat 12% dibandingkan 2015 sebesar 278 mbopd. Sementara produksi gas diproyeksikan naik menjadi 2.080 mmcfd, yang naik dari 2016 sebesar 1.961 mmscfd (meningkat 3% dari 2015 sebesar 1.902 mmscfd).

Pertamina memproyeksikan, produksi migas tahun ini akan tumbuh 7% dari realisasi 2016 karena produksi puncak dari PT Pertamina EP Cepu, penambahan participating interest ONWJ dan berbagai proyek on stream. (DR)