JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) didesak mempertimbangkan kembali upaya mengurangi porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027. Selain dapat meningkatkan risiko PLN jangka panjang, pengurangan tersebut akan makin memperburuk persepsi risiko dan investasi EBT di Indonesia.

“Investor akan memandang  pemerintah Indonesia plin-plan, karena tidak konsisten dengan target yang dibuat sendiri, yaitu 23% bauran EBT pada 2025. Selain itu, pemerintah juga bakal dinilai tidak memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca global, sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu,” kata Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential  Services Reform kepada Dunia Energi, Sabtu (3/2).

Menurut kajian International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi pembangkit EBT yang dapat dibangun di Indonesia mencapai tujuh gigawatt (GW) per tahun sampai 2030, 3,1 GW diantaranya adalah teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan rooftop.

Faby mengatakan, pendekatan dan strategi inilah yang tidak tampak dalam penyusunan RUPTL 2018- 2027. “Menteri ESDM berkali-kali mendesak harga listrik EBT turun, bahkan lebih murah daripada harga listrik PLTU tetapi sejauh ini pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif dan strategi yang terarah dan terukur bagaimana mencapai harga energi terbarukan yang lebih kompetitif,” ungkap dia.

Yang terjadi, kata Faby, adalah Menteri ESDM justru membuat aturan yang menghambat investasi EBT melalui penerbitan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Pasokan yang berlebih (over supply) pembangkit listrik energi primer yang dibangun oleh PLN dan swasta (IPP) dapat memicu terjadinya stranded asset (aset mangkrak), karena kapasitas yang sudah dibangun tidak dibeli listriknya oleh pelanggan. Dampaknya, adalah beban keuangan yang harus ditanggung oleh PLN dan IPP meningkat, dan dapat memicu kerugian finansial PLN.

Risiko peningkatan biaya pembangkitan listrik akibat kenaikan biaya energi primer, khususnya batu bara dan BBM, seperti yang terjadi saat ini pada PLN, sesungguhnya dapat dimitigasi dengan membangun lebih banyak pembangkit EBT yang biaya listriknya tidak terpengaruh harga bahan bakar.

Dengan demikian, menurut Faby, konsumsi energi primer dapat dikurangi secara perlahan. Pembangunan pembangkit EBT skala besar di sistem Jawa-Bali secara teknis dimungkinkan, asalkan PLN dan Kementerian ESDM bisa keluar dari dogma perencanaan listrik yang konvensional dengan memberi ruang penetrasi EBT yang lebih besar. Walaupun biaya teknologi EBT di dunia turun drastis dalam sepuluh tahun terakhir, biaya investasi energi terbarukan di Indonesia masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor risiko yang masih dinilai tinggi dan mempengaruhi bankability project, tingginya biaya pengadaan lahan, dan suku bunga domestik.

Biaya investasi akan turun seiring dengan peningkatan kapasitas
pembangkit EBT. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit EBT yang bersifat intermittent seperti surya (PLTS dan rooftop solar) dan bayu perlu ditingkatkan hingga 1.000-2.000 MW untuk membuat biaya investasi turun.

“Menteri ESDM yang akan mengesahkan RUPTL harus memahami konsekuensi persepsi investor di bidang energi yang semakin negatif,” tandas Faby.(RA)