JAKARTA – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di beberapa wilayah Indonesia yang dibangun sejak 2006 menyisakan banyak masalah. Dari total 10 ribu Megawatt (MW) yang dklaim telah selesai terbangun dan beroperasi pada 2011-2013, nyatanya tidak semua beroperasi optimal.

Ahmad Daryoko, pendiri serikat pekerja PT PLN (Persero) yang juga mantan Project Director pada Proyek PLTU 2X350 MW di Tuban, mengatakan telah melaporkan indikasi kegagalan berbagai proyek yang dikerjakan kontraktor asal China kepada pimpinan Komisi VI dan VII DPR. Pada periode 2011-2013 pembangkit yang berasal dari proyek PLTU 10 ribu MW tahap I tersebut rata-rata sudah selesai dan sudah beroperasi komersial (Commercial Operating Date/COD).

Namun beberapa bulan lalu, ada group kontraktor nasional ternama yang beralamat di bilangan Jakarta Selatan yang didampingi Lawyer dan BUMN merilis informasi bahwa proyek tersebut banyak mengalami kegagalan. Rata-rata AF-nya hanya 40% atau 6.000 MW rusak berat alias “mangkrak”, mulai 2013.

“Jika diperbaiki menurut mereka perlu dana Rp70 triliun-Rp80 triliun,” kata Daryoko dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/3).

Salah satu solusi yang disodorkan kontraktor pengelola saat ini adalah dengan konsep Kerja Sama Usaha (KSU) sebagai ganti konsep lama bernama “Leased Back” yang ditolak serikat pekerja dua anak usaha PLN, yakni PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).

“Kedua konsep tersebut adalah jalan keluar cara penyelesaian kerusakan PLTU 6 ribu MW PLN,” kata Daryoko.

Dia menambahkan Presiden Joko Widodo sebenarnya telah melakukan protes kepada Presiden China Xin Jie Ping atas kerusakan fasilitas PLTU tersebut pada kunjungan pertama  2015. Namun  mengingat biaya perbaikan yang mencapai puluhan triliun, Xin Jie Ping mengajukan konsep “Leased Back” dan sempat disetujui Presiden Jokowi namun ujungnya tetap ditolak serikat pekerja.

Serikat pekerja PLN sempat melakukan kajian terhadap berbagai konsep yang diambil untuk menyelesaikan masalah pembangkit mangkrak, berdasarkan kajian tersebut konsep KSU ternyata tidak berbeda dengan Leased Back.

“Kami melihat bahwa kejadian “mangkrak”nya PLTU 6.000 MW di Jawa-Bali ini bukan semata mata kejadian teknis, tetapi sudah merupakan penipuan sekaligus pelecehan kontraktor China kepada bangsa Indonesia,” tegas Daryoko.

Untuk itu, DPR diminta segera bertindak, salah satunya dengan menugaskan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap PLN.

Bahkan jika diperlukan membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional agar para kontraktor China bertanggung jawab atas kejadian tersebut serta menindak tegas siapapun yang terlibat.

“Serta dimasa yang akan datang menolak keras produk China untuk proyek PLN,” tandas Daryoko.(RI)