JAKARTA – PT PLN (Persero) telah mengeluarkan laporan keuangan tahun 2012 yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) Osman Bing Satrio dan Eny, yang merupakan afiliasi dari Deloitte Touche Tohmatsu Limited. Secara umum, disebutkan bahwa kinerja keuangan PLN di 2012 makin efisien.

“Laporan keuangan ini menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan usaha perseroan pada tahun 2012 jauh lebih tinggi dibanding biaya-biaya yang dapat dikontrol secara langsung oleh PLN,” sebut keterangan tertulis PLN yang disampaikan Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN kepada wartawan pada Jumat, 12 April 2013.

Berdasarkan laporan laba rugi konsolidasi, pendapatan usaha PLN pada 2012 tercatat sebesar Rp 232,7 triliun, naik 12% dari pendapatan usaha 2011 sebesar Rp 208 triliun. Sedangkan biaya administrasi dan umum hanya naik 1,8% dari Rp 4,4 triliun pada 2011 menjadi Rp 5,2 triliun pada 2012.

Biaya kepegawaian hanya naik 1% dari Rp 13,1 triliun pada 2011, menjadi Rp 14,4 triliun pada 2012. Sebagai catatan, pada 2010 besarnya biaya administrasi dan umum PLN adalah Rp 4,3 triliun dan biaya kepegawaian adalah Rp 12,9 triliun.

“Kenaikan biaya administrasi dan biaya kepegawaian juga jauh di bawah angka laju inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa di tataran biaya yang dapat dikontrol secara langsung, PLN dapat mengendalikan dengan baik,” sebut keterangan tertulis PLN.

Disebutkan pula bahwa meningkatnya pendapatan usaha di 2012 ini, terutama berasal dari kenaikan penjualan tenaga listrik. Yakni penambahan jumlah pelanggan sebesar 3.900.104 dan penambahan volume penjualan sebesar 4.892 GWh. Sedangkan jika dibanding 2010, pendapatan usaha 2012 ini naik 43% (pendapatan usaha 2010 sebesar Rp 162,4 triliun).

Sementara itu, beban usaha sepanjang 2012 tercatat sebesar Rp 203,1 triliun, meningkat 9% dibandingkan 2011 yang mencatatkan angka Rp 185,6 triliun. Adapun beban usaha di 2010 tercatat sebesar Rp 149.1 triliun.

Disebutkan, meningkatnya beban usaha ini karena peningkatan konsumsi bahan bakar dan pelumas, serta pembelian tenaga listrik untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik dari masyarakat. Meningkatnya beban usaha, juga akibat peningkatan penyusutan seiring meningkatnya jumlah aset PLN.

Laba Bersih Turun

Laba usaha PLN disebutkan naik sebesar Rp 7,1 triliun atau 32% dari Rp 22,4 triliun pada 2011, menjadi Rp 29,5 triliun pada 2012. Adapun laba usaha perusahaan di 2010 tercatat sebesar Rp 13.3 triliun. Namun laba bersih PLN mengalami penurunan sebesar Rp 2,2 triliun menjadi Rp 3,2 triliun pada 2012, dari Rp 5,4 triliun pada tahun sebelumnya.

Adapun laba bersih perusahaan pada 2010 tercatat sebeser Rp 10,1 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan adanya peningkatan rugi selisih kurs sebesar Rp 4,1 triliun, dari Rp 1,8 triliun pada 2011 menjadi Rp 5,9 triliun pada 2012.

Peningkatan rugi selisih kurs ini, sebut laporan keuangan PLN, sebagai akibat dari translasi liabilitas perusahaan dalam mata uang asing, dimana pada 2012 terjadi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika (USD) meskipun disisi lain terjadi penguatan terhadap yen Jepang (JPY).

Penurunan laba bersih diatas terutama disebabkan oleh transaksi non-cash, sehingga tidak berpengaruh terhadap EBITDA perusahaan yang mengalami kenaikan  sebesar 26,1% menjadi Rp. 52,4 triliun pada 2012, dari sebelumnya Rp 41,6 triliun  pada 2011.

Peningkatan rugi kurs sebesar Rp 4,1 triliun, terdiri dari peningkatan rugi kurs Rp 8,0 triliun atas pinjaman-pinjaman yang mayoritas dalam mata uang dollar Amerika USD. Yaitu: utang sewa pembiayaan atas penerapan ISAK 8 sebesar 45%, utang obligasi internasional sebesar 32%, utang bank sebesar 17%, dan liabilitas moneter lainnya (net off asset) sebesar 6%.

Namun disisi lain terjadi peningkatan laba kurs sebesar Rp 3,9 triliun atas utang sewa pembiayaan PLTU Tanjung Jati B, dan utang penerusan pinjaman yang mayoritas dalam mata uang yen Jepang (JPY).

Aset PLN Bertambah

Dari laporan posisi keuangan, tercatat jumlah aset tidak lancar mengalami kenaikan 15% dari Rp 409,5 triliun pada 31 Desember 2011 menjadi Rp 472,1 triliun pada 2012. Adapun aset tidak lancar pada 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp 324,4 triliun.

Hal ini terutama karena pada 2012 mulai beroperasi beberapa PLTU yang merupakan bagian dari proyek percepatan tahap 1 seperti PLTU Lontar Unit 2 dan 3, PLTU Paiton, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Suralaya, PLTP Ulubelu Unit 1 dan 2, PLTU Kendari Unit 2, PLTU Amurang Unit 1 dan 2, PLTU Barru Unit 1 dan 2, juga masuknya PLTU Tanjung Jati B Unit 4 dan beberapa IPP baru seperti PLTU Paiton III, PLTU Cirebon, PLTU Jeneponto, dan PLTU Tanjung Kasam.

Sementara aset lancar naik 18% dari Rp 58,2 triliun pada 31 Desember 2011 menjadi Rp 68,6 triliun pada 2012. Adapun aset lancar pada 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp 45,1 triliun Sehingga total jumlah aset PLN pada 2012 sebesar Rp 540,7 triliun, atau naik 16% dari Rp 467,7 triliun pada 2011.

“Perlu kami informasikan bahwa mulai 1 Januari 2012, perusahaan telah menerapkan ISAK 8 mengenai penentuan apakah suatu perjanjian mengandung suatu sewa dan PSAK 30 mengenai sewa terhadap transaksi PPA (Power Purchase Agreement) dan ESC (Energy Sales Contract) dengan IPP secara retrospektif,” sebut keterangan tertulis PLN.

Disebutkan pula bahwa perubahan kebijakan ini, mengakibatkan sebagian besar kontrak PPA dan ESC tersebut diperlakukan sebagai sewa pembiayaan, sehingga PLN mencatat aset sewaan dan liabilitas sewa pembiayaan atas kontrak dengan IPP tersebut. “Laporan Keuangan 2011 juga telah disajikan kembali (restated) untuk mencerminan penerapan standar akuntansi tersebut,” tutup PLN dalam keterangan tertulisnya.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)