JAKARTA – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya memproses permintaan PT PLN (Persero) untuk kembali mengelola Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) pada 2018.

Syofvi Roekman, Direktur Perencanaan PLN, mengatakan ada tiga WKP yang sudah diajukan dan saat ini masih dievaluasi pemerintah sebelum diserahkan secara resmi. Total tiga WKP diperkirakan akan dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas mencapai 125 megawatt (MW).

 “Yang sedang kami urus WKP Danau Ranau, Gunung Sirung dan Oka Ile Ange, masih proses mudah-mudahan bisa keluar (keputusan) tahun ini,” kata Syofvi di Jakarta, Selasa (6/3).

WKP Danau Ranau di Sumatera Selatan nantinya memiliki kapasitas  110 MW, m Oka Ile Ange 10 MW dan Gunung Sirung, Nusa Tenggara Timur 5 MW.

Lebih lanjut Syofvi menambahkan, PLN sebenarnya mengajukan lebih dari tiga WKP untuk tahun ini atau ada enam WKP, namun pemerintah memutuskan untuk memproses tiga dulu karena sisanya akan dikembangkan sendiri terlebih dulu oleh pemerintah. Serta satu WKP dinilai tidak ekonomis.

“Yang tidak diambil beberapa karena mau dikembangkan EBTKE mau ambil dua WKP untuk kembangkan sendiri.  Jadi dari tiga itu, dua diambil litbang EBTKE, satu kurang ekonomis,” ungkap dia.

Jika resmi telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah atas pengelolaan tiga WKP yang baru diajukan, maka PLN total bakal menggarap 11 wilayah kerja panas bumi sekaligus. PLN sebelumnya telah mengelola delapan WKP di antaranya  WKP Mataloko 22,5 MW, Atedei 10 MW, dan Ulumbu 50 MW di Nusa Tenggara Timur.

Selain itu, WKP Songa Wayaua di Maluku Utara berkapasitas 10 MW, Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat 60 MW, Tulehu di Ambon 2×10 MW, Ungaran, Jawa Tengah berkapasitas 55 MW, dan Kepahiang di Bengkulu berkapasitas 110 MW.

“Yang besar (kapasitasnya) itu Kepahiang. Yang lainnya, beberapa dikembangkan model well head sehingga pipanya tidak banyak,” ungkap Syofvi.

Panas bumi menjadi salah satu energi baru terbarukan yang paling serius dikembangkan PLN. Selain potensinya  besar, panas bumi ketika dikonversikan menjadi listrik lebih stabil dibanding  energi alternatif lainnya.

PLTP bisa difungsikan sebagai pembangkit pemikul beban dasar (base load). Optimasi pemanfaatan pembangkit jenis ini juga paling tinggi, yakni sampai 90%. Berbeda dengan pembangkit angin misalnya.

Syofvi mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi yang memiliki kapasitas 75 MW tidak bisa seluruh kapasitas itu digunakan karena ketergantungan dengan kondisi angin juga sehingga paling tidak energi yang bisa dimanfaatkan secara maksimal hanya mencapai 30% dari total kapasitas instalasi.

“Kami bisa pakai untuk base load (PLTP), karena uapnya tidak bisa dikirim ke tempat lain,” tandas Syofvi.

Dalam target rencana yang dicanangkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) target bauran energi EBT harus mencapai 23% dari porsi energi mix pada tahun 2025. Data Kementerian ESDM hingga sekarang total kapasitas terpasang pembangkit EBT 12,15% dengan perincian panas bumi dan EBT lainnya 5,09% dan sisanya sebanyak  7,06% adalah berasal dari pembangkit tenaga air.(RI)