JAKARTA – Petronas Carigali Muriah Ltd hingga kini menunggak pembayaran kewajiban ship or pay kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN. Pembayaran tersebut ditujukan sebagai kompensasi karena karena selama ini pasokan gas tidak sesuai dengan perjanjian. Petronas telah menunggak kewajiban sejak 2016.

“Kewajiban minimun belum dibayar US$8,8 juta pada 2016. Serta US$21,5 juta di 2017,” kata Dilo Seno Widagdo, Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN disela rapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (12/2).

Dalam kontrak pembangunan Kalija I, para pihak menyepakati pembayaran ship or pay dengan minimal volume gas yang disalurkan sebesar 104 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) untuk lima tahun pertama. Kontrak juga menyebutkan kapasitas yang seharusnya disalurkan sebesar 116 MMSCFD.

Ship or pay merupakan bentuk penjaminan investasi yang harus dibayarkan. Hingga saat ini Petronas belum membayar seluruh ship or pay yang menjadi tanggung jawabnya. Selain Petronas, PT PLN (Persero) juga sebenarnya diwajibkan membayar ship or pay lantaran pada 2015 pembangkit listrik yang menjadi tujuan gas Lapangan Kepodang belum rampung. Namun sudah diselesaikan pada 2015. “Sebesar US$1,9 juta itu PLN, sudah dibayarkan pada 2015,” ungkap Dilo.

Pada 2015, realisasi penyaluran gas dari Lapangan Kepodang hanya sebesar 86,06 MMSCFD, setahun kemudian naik sebesar 90,37 MMSCFD. Pada 2017, realisasi penyaluran gas kembali anjlok menjadi 75,64 MMSCFD

Petronas tahun lalu justru mengklaim kondisi force majeure untuk Lapangan Kepodang lantaran cadangan yang tersisa hanya sampai 2019. Padahal menurut kontrak Lapangan Kepodang seharusnya menyalurkan gas kepada PLN melalui Kalija I hingga 2026.

Kondisi force majeure sendiri tidak serta merta bisa ditetapkan dan diklaim oleh satu pihak. Karena itu saat ini sudah dilakukan audit dan verifikasi oleh pihak ketiga. Pemerintah telah menunjuk Lemigas untuk melakukan kajian di Lapangan Kepodang.

“Untuk hasilnya bagaimana kami belum tahu, karena dari Lemigas nanti ke SKK Migas baru diputuskan,” kata Dilo.

Pihak PGN, kata Dilo telah beberapa kali melayangkan permintaan pembayaran kepada Petronas, namun belum juga mendapatkan titik cerah termasuk meminta mediasi dari pihak ketiga yakni Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas).

Menurut Dilo, jika dalam ruang mediasi tersebut tidak ditemui titik temu sesuai dalam kontrak maka jalur hukum bisa ditempuh PGN untuk meminta haknya kepada Petronas.

“Kami berkali-kali meminta, terakhir yang 5 Januari 2018 kemarin sesuai dengan deadline 30 hari berarti 5 Februari dari situ ke ranah mediasi. Kalau dari mediasi BPH Migas tidaj juga ya ke arbitrase,” ungkap dia.

Pipa Kalija I memiliki panjang 200 km dengan kemampuan menyalurkan gas dengan kapasitas sebesar 150 MMSCFD dengan toll fee sebesar US$ 2,326 per MSCF. PGN telah menghabiskan investasi US$270 juta untuk membangun pipa berdiamter 14 inci tersebut.

Pipa Kalija sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tambak Lorok di Semarang, Jawa Tengah yang dikelola anak usaha PLN, PT Indonesia Power. Saat ini pipa transmisi Kepodang Tambak Lorok dikelola PT Kalimantan Jawa Gas.

M Fanshurullah Asa, Kepala BPH Migas, mengungkapkan jika mengikuti kontrak yang ada maka Petronas sudah sepatutnya membayar jaminan berupa ship or pay. Dalam waktu dekat BPH Migas akan segera memanggil semua pihak terkait.

“Secepatnya kami panggil. Bulan ini kami panggil, sudah jalan sudah dipanggil beberapa kali. Kami akan panggil, baik itu transportir, shiper, Petronas dan off takernya, PLN, akan diketemukan. Kalau mengacu ke Gas Transportation Agreement (GTA) harus dibayar,” tandas Fanshurullah.(RI)