JAKARTA– PT Star Energy, perusahaan terafilisasi PT Barito Pacific Tbk (BRPT) yang dikendalikan oleh taipan nasional Prajogo Pangestu, kini mentahbiskan diri sebagai perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar di Tanah Air mengalahkan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Apalagi, sejak Jumat (31/3) pekan lalu, Konsorsium Star Energy sah menjadi pemilik tiga aset PLTP Chevron Corp di Indonesia dan Filipina setelah menuntaskan pembelian aset Chevron senilai total US$ 2,3 miliar atau setara Rp 31,05 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS).

Konsorsium Star Energy untuk pembelian PLTP yang dikelola Chevron terdiri atas Star Energy Group Holdings, Star Energy Geothermal, AC Energy (Ayala Group) Filipina, dan EGCO dari Thailand. Grup Star Energy memiliki sekitar 68,31% saham konsorsium, AC Energy menguasai 19,3%, dan EGCO memiliki 11,89%. Konsorsium Star Energy dan Chevron meneken share sale and purchease agreement PLTP di Indoensia dan Filipina pada 22 Desember 2016.

Manajemen Chevron dalam siaran persnya menyatakan, Chevron menuntaskan perjanjian jual beli PLTP di Filipina dan Indonesia dengan Konsorsium Star Energy pada 31 Maret dan dimasukkan ke dalam kinerja perusahaan pada kuartal I 2017. Sementara untuk penjualan aset panas bumi Chevron di Filipina paling lambat tuntas pada akhir 2017.

Jay Johnson, Executive Vice President, Upstream, Chevron Corporation, mengatakan Chevron melepas aset-aset panas bumi yang dikuasainya di Indonesia dan Filipina ke Konsorsium Star Energy. Pelepasan aset ditandai dengan penandatanganan perjanjian jual beli aset antara kedua perusahaan. Menurut dia, aset-aset panas bumi Chevron menghasilkan energi yang andal untuk mendukung kebutuhan ekonomi Asia Pasifik yang berkembang.

“Penjualan ini sejalan dengan strategi untuk memaksimalkan nilai bisnis hulu global kami melalui pengelolaan portofolio yang efektif,” kata Johnson dalam keterangan tertulisnya.

Tiga aset PLTP Chevron yang dijual kepada konsorsium Star energy adalah PLTP Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat berkapasitas 370 megawatt (MW) dan PLTP Derajat di Kabupaten Garut, Jawa Barat berkapasitas 240 MW. Sementara objek transaksi di Filipina adalah pengambilalihan 40% saham aset panas bumi Tiwi-MakBan berkapasitas 326 MW. Dengan demikian, total kapasitas PLTP dalam jual beli ini mencapai 740 MW.

PLTP Gunung Salak

Star Energy saat ini mengoperasikan PLTP Wayang Windu I-III di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Total kapasitas terpasang ketiga unit pembangkit tersebut sebesar 287 MW. Pascapembelian aset Chevron di Darajat dan Gunung Salak, total kapasitas listrik panas bumi yang dikelola Star Energy sebesar 897 MW. Dengan demikian, Star Energy bukan hanya pengelola atau operator PLTP terbesar di Tanah Air, juga salah satu yang terbesar di bawah Calpine Corp, Amerika Serikat dengan 945 MW.

Akuisisi Star Energy
Paralel dengan konsorsium Star Energy yang mengakuisisi PLTP Chevron di Indonesia dan Filipina, Barito Pacific juga mengakuisisi Star Energy. Henky Susanto, Direktur Barito Pacific, mengtakan pada 21 Maret 2017, Barito Pacific menandatangani supplemental memorandum of understanding dengan Star Energy Investment Ltd dan SE Holdings Limited terkait rencana akuisisi sebagian besar saham dalam Star Energy Group Holdings Pte Ltd.

“Rencana akuisisi ini bergantung pada dipenuhinya persyaratan-persyaratan pendahuluan yang akan dituangkan dalam perjanjian jual beli bersyarat atau conditional sale and purchase agreement [CSPA], antara lain due diligence atas Star Energy Group Holdings Pte Ltd.,” kata Henky dalam keterbukaan informasi yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia, Kamis pekan lalu.

Menurut Henky, rencana akuisisi tersebut merupakan transaksi afiliasi karena perseroan, Star Energy Investment Ltd dan SE Holdings Limited dikendalikan oleh pihak yang sama yakni Prajogo Pangestu. Dengan demikian, perseroan bakal memiliki porsi mayoritas saham usai memperoleh pinjaman sindikasi perbankan senilai US$300 juta yang digunakan untuk membeli sebagian besar saham Star Energy Group Holding Pte Ltd.

Dalam salinan akta notaris tentang Hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Barito Pacific Tbk pada 3 Februari 2017, sebanyak 98,83% pemegang saham BRPT sepakat untuk menjaminkan saham perseroan di PT Chandra Asri Petrochemicals Tbk. Berdasarkan dokumen tersebut, manajemen Barito menyatakan bahwa perseroan tengah melakukan negosiasi untuk mendapatkan pinjaman dari sindikasi bank dengan jumlah pinjaman mencapai US$300 juta untuk uang muka atas rencana akuisisi sebagian besar saham Star Energy Group Holding Pte Ltd yang dimiliki Star Energy Investment Ltd. dan Star Energy Holdings Limited.

Pada 20 Desember 2016, perseroan telah meneken MoU dengan Star Energy Investment Ltd. dan Star Energy Holdings Limited terkait rencana akuisisi tersebut. Barito Pacific juga telah memberikan deposit sebesar US$60 juta yang dananya berasal dari pinjaman Bangkok Bank Public Company Limited. Pinjaman tersebut merupakan bagian dari total rencana pinjaman sebanyak-banyaknya US$300 juta.

Pertamina Terlewati
Dengan tuntasnya akuisisi PLTP Chevron di Indonesia oleh Star Energy, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), tak bisa lagi mengklaim sebagai operator PLTP terbesar di Tanah Air. Total kapasitas PLTP Pertamina Geothermal hingga akhir 2016 tercatat 532 MW dan tahun ini diproyeksikan tambah menjadi 617 MW. Hingga 2019, PGE memproyeksikan total kapasitas pembangkitan panas bumi mendekati 907 MW atau setara 42.901 BOEPD.

PGE saat ini mengembangkan delapan proyek PLTP di tujuh tempat di Tanah Air. Proyek-proyek tersebut adalah Proyek Kamojang Unit V (1X35 MW), Proyek Ulubelu Unit III dan IV (2X55 MW), Proyek Lumut Balai Unit I dan II (2X55 MW), Proyek Lumut Balai Unit III dan IV (2X55 MW), Proyek Lahendong Unit V dan VI (2X20 MW), Proyek Karaha Unit I (1×30 MW), Proyek Hululais Unit I dan II (2X55 MW) dan Proyek Sungai Penuh Unit I dan II (2X55 MW).

Sepanjang 2016, PGE mencatatkan laba bersih sepanjang 2016 sebesar US$ 75,16 juta atau sekitar Rp 1,01 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS). Perolehan net profit perusahaan tersebut lebih tinggi 9,4% dibandingkan target dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) sebesar US$ 68,67 juta. Padahal, pendapatan PGE sepanjang tahun lalu tercatat US$ 533,49, lebih rendah 1,4% dari target yang ditetapkan dalam RKAP sebesar US$ 541,12 juta.

Menurut Irfan Zainuddin, Direktur utama PGE, perolehan laba bersih itu berkat program efisiensi yang kami lakukan selama 2016. “Secara keseluruhan kami senang karena apa yang kami lakukan pada 2016 mendapatkan apresiasi dari pemegang saham dan seluruh stakeholder,” katanya.

Menurut Irfan, masih banyak efisiensi yang harus dilakukan perusahaan tahun ini dan seterusnya. Salah satunya adalah peningkatan kapasitas terpasang listrik pembangkit listrik panas bumi (PLTP). “Tahun lalu kapasitas terpasang (PLTP) sekitar 532 MW (megawatt) dan tahun ini diharapkan menjadi 617 MW,” ujarnya.

Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), mengapresiasi kinerja PGE selama 2016. Kendati begitu, dia memberi beberapa catatan untuk perbaikan, termasuk keuangan. Pasalnya, bisnis panas bumi terkendala masalah harga uap maupun harga listrik sehingga perlu melakukan efisiensi pada biaya. “Tahun ini rasanya juga belum banyak berbeda dengan 2016,” ujar dia.

Pemegang saham PGE terdiri atas Pertamina sebesar 90,06% atau 625.521 saham dan PT Pertamina Dana Ventura 9,94% sebesar 69.052 saham. (DR)