JAKARTA – Pengelolaan minyak dan gas (migas) dinilai akan menjadi lebih baik dengan penggabungan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS), perusahaan transmisi dan distribusi gas yang 57% sahamnya dimiliki pemerintah,  di bawah satu atap PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi agar bisa berkompetisi di tingkat global. Dr Rudi Laksmono, dosen program studi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan (Unhan), mengatakan akan lebih baik jika pembentukan perusahaan induk (holding company) bidang energi mencakup sektor minyak, gas, energi baru dan terbarukan, dan batu bara.

“Dengan adanya penggabungan PGN-Pertamina, harga gas yang ke dalam negeri bisa lebih murah lagi. Namun karena PGN sebagian sahamnya dimiliki asing, keuntungannya juga harus dibagi,” ujar Rudi.

Menurut dia, penggabungan PGN ke dalam Pertamina yang bisa menjadi Pertamigas Nasional diharapkan dapat bersaing dengan Petronas, perusahaan migas Malaysia, atau perusahaan berskala global lainnya karena akan lebih efisien. Hal-hal lain yang sekiranya menghambat laju kompetisi dapat disisihkan. “Penggabungan itu pasti bertujuan baik, yaitu mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada selama ini sehingga belum mampu bersaing dengan luar,” katanya.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memutuskan menjadikan Pertamina sebagai induk usaha BUMN di sektor energi. PGN akan menjadi salah satu anak usaha holding BUMN energi tersebut. Kementerian BUMN menargetkan pembentukan holding BUMN energi bisa dituntaskan pada tahun ini. Kementerian BUMN masih mendiskusikan mekanisme penggabungan PGN ke Pertamina. Sambil peraturan pemerintah terkait penggabungan tersebut, Pertamina yang ditunjuk sebagai induk usaha akan memastikan dari sisi operasional. Tim gabungan, yang terdiri atas Pertamina dan PGN akan melakukan pemetaan lokasi pipa-pipa infrastruktur gas, baik transmisi maupun distribusi yang ada.

Ali Ahmudi, pengamat energi yang saat ini tengah menyelesaikan disertasi soal sistem permodelan energi pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mengatakan pembentukan holding energy company didasari kepentingan untuk memperkuat sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan energi nasional.
 

“Keberadaan perusahaan holding juga akan mendorong efisiensi energi dari hulu ke hilir, serta meningkatkan kelincahan perusahaan energi nasional untuk berekspansi ke luar negeri,” katanya.

Menurut Ali, keberadaan holding sektor lainnya seperti perkebunan, pupuk, dan semen juga menjadi acuan dibentuknya hal serupa di sektor energi. Pembentukan holding merupakan strategi efektif dalam mendorong keunggulan kompetitif perusahaan energi nasional.
Namun, upaya mewujudkan BUMN energi Indonesia yang semakin kuat dan kompetitif berpulang kepada political will pemerintah dan stakeholder terkait.
Ali menegaskan, Indonesia harus merujuk dua negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia dan Singapura. Pemerintahan Mahatir Mohammad (PM Malaysia) pada pertengahan 1990-an mendukung kemandirian Khazanah Bhd karena pemerintahnya yakin negara membutuhkan BUMN yang sehat dan kuat untuk dapat bersaing secara global. Demikian pula di Singapura, PM Lee Kuan Yew pada saat membentuk Temasek Group beranjak dari pemikiran serupa.

“Sungguh tragis, resep sama yang dimiliki Indonesia tidak dijalankan dengan baik sehingga BUMN kita jalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran. Pada 1970-an Petronas belajar dari Pertamina, namun kini kondisi sebaliknya yang terjadi,” kata Ali yang juga peneliti pada Pusat Studi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan.

Menurut Ali, pemerintah Jokowi saat ini memiliki kesempatan mengubah sejarah. Saatnya Indonesia bangkit dan tegak berdikari. “Mari bersama kita bangun PGN makin keren, Pertamina terus berjaya, dan Indonesia yang lebih perkasa,” tandasnya. (RA/RI)