Edison Effendi (paling kiri berjas abu-abu), seseorang yang dijadikan saksi ahli oleh JPU dalam kasus  bioremediasi. Edison dinilai sarat konflik kepentingan karena pernah kalah tender bioremediasi Chevron.

Edison Effendi (paling kiri berjas abu-abu), seseorang yang dijadikan saksi ahli oleh Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi. Perusahaan Edison ternyata juga tidak mengantongi izin bioremediasi.

JAKARTA – Keseluruhan proses peradilan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang sudah berlangsung satu setengah tahun, tampaknya memang penuh rekayasa. Dua kontraktor bioremediasi PT CPI sudah divonis bersalah oleh hakim karena tidak memegang izin melakukan bioremediasi. Namun ternyata, perusahaan milik ahli Kejaksaan Agung, Edison Effendi yang mengaku sudah mengerjakan proyek bioremediasi di beberapa tempat, juga tidak mengantongi izin.

Hal ini terungkap dalam persidangan kasus bioremediasi PT CPI dengan terdakwa karyawan CPI, Bachtiar Abdul Fatah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 5 September 2013, pekan lalu. Dalam sidang itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli bernama Edison Effendi, yang sejak awal persidangan keterangannya digunakan sebagai rujukan oleh jaksa maupun hakim.

Edison dalam persidangan itu mengaku, telah cukup berpengalaman mengerjakan bioremediasi, atau penanganan tanah tercemar limbah minyak, di sejumlah perusahaan minyak di Indonesia. “Saya sudah mengerjakan bioremediasi puluhan tahun, di berbagai lokasi lapangan minyak di Indonesia,” ujarnya.   

Ketika penasehat hukum terdakwa menanyakan kepemilikan izin perusahaannya dalam melaksanakan pekerjaan bioremediasi di beberapa daerah, Edison menyatakan tidak memiliki izin yang dimaksud. Ia menegaskan, izin itu dikantongi oleh perusahaan yang mempekerjakan perusahaannya. Perusahaan Edison sendiri merupakan subkontraktor dari perusahaan lain.

Edison pun mengaku pernah mengikuti tender bioremediasi di CPI, sebagai expert atau ahli bioremediasi untuk mengawal perusahaan tertentu. Ia sempat menyebut nama perusahaan PT Adi Mitra. Perusahaan yang dikawalnya itu pun, menurut pengakuan Edison, tidak mengantongi izin melakukan bioremediasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).  

Lebih jauh Edison Effendi juga menyebutkan bahwa dirinya tidak mengerti perihal proses perizinan untuk kegiatan Bioremediasi dari KLH, karena ia tidak mengetahui kronologis permohonan izin.

Mengapa Ada Vonis Bersalah?

Pengakuan Edison ini jelas menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, dua pimpinan perusahaan kontraktor bioremediasi CPI yakni, Herland bin Ompo selaku Direktur PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri selaku Direktur PT Green Planet Indonesia, sudah divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Juni 2013 lalu, karena tidak memegang izin bioremediasi dari KLH.

Saat itu, jaksa maupun hakim menyatakan Sumigita dan Green Planet tidak sah menjadi kontraktor bioremediasi CPI, karena tidak memegang izin melakukan bioremediasi dari KLH. Tuntutan jaksa dan amar putusan hakim tersebut, seluruhnya berdasarkan keterangan Edison Effendi, yang ditunjuk sebagai saksi berikut ahli oleh Kejaksaan Agung.

Sejumlah pejabat KLH yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan, sudah menjelaskan bahwa kontraktor bioremediasi tidak perlu mengantongi izin, karena kontraktor hanya membantu CPI dari sisi teknis. Yang perlu mengantongi izin hanyalah PT CPI selaku pemilik limbah dan pemilik teknologi bioremediasi. Namun jaksa tetap pada tuntutannya, dan hakim menjatuhkan vonis bersalah.

Saat itu, Edison ngotot menerangkan bahwa kontraktor juga harus mengantongi izin. Demikian pula saat menjadi saksi ahli dalam persidangan untuk terdakwa Widodo, Kukuh Kertasafari, dan Endah Rumbiyanti. Ketiga karyawan PT CPI ini dinyatakan bersalah, karena memenangkan tender dua perusahaan yang tidak mengantongi izin bioremediasi.

“Kontraktor CPI, yaitu PT Sumigita dan PT Green Planet Indonesia tidak memiliki izin, karena izin telah dikantongi oleh CPI, persis seperti keterangan ahli JPU, Edison Effendi tentang perusahaan miliknya yang tidak memiliki izin, dan izin tersebut dikantongi perusahaan yang mempekerjakannya. Tapi mengapa Direktur Sumigita dan Direktur Green Planet divonis bersalah?,” ungkap Maqdir Ismail, penasehat hukum terdakwa Bachtiar Abdul Fatah.

Edison Mestinya Dipenjara

Bachtiar sendiri diajukan ke pengadilan, karena menandatangani kontrak pekerjaan bioremediasi untuk PT Sumigita dan PT Green Planet. Bachtiar yang sudah sempat dinyatakan bebas oleh Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 27 November 2012 lalu, diseret lagi ke pengadilan oleh penyidik Kejaksaan Agung, setelah Herland dan Ricksy divonis bersalah oleh hakim.

“Majelis hakim yang memutus perkara kedua kontraktor CPI hanya menyandarkan pada keterangan Edison Effendi sebagai ahli. Kenyataannya, perusahaan Edison Effendi sendiri tidak memiliki izin ketika mengerjakan pekerjaan bioremediasi, seperti keteranganya di depan persidangan,” ungkap Maqdir.

Maqdir pun menyampaikan suatu logika penegakan hukum yang sederhana. “Kalau Sumigita dan Green Planet dinyatakan bersalah karena mengerjakan proyek bioremediasi CPI tanpa izin, mestinya Edison Effendi yang perusahaannya juga tidak mengantongi izin bioremediasi mengalami nasib yang sama dong. Diseret ke pengadilan dan dipenjara,” tandas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)