JAKARTA –  Pemerintah kembali bersedia perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia hingga perundingan rampung. Pasalnya, hingga menjelang batas akhir masa perundingan di Oktober, pemerintah dan Freeport belum mencapai kata sepakat.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  mengungkapkan Freeport bisa mengajukan perpanjangan status IUPK yang akan habis pada Oktober ini ke pemerintah.

“Bisa diperpanjang (IUPK). Ya (Freeport) memohon saja, ” kata Bambang saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (2/10).

Menurut Bambang,  sampai saat ini IUPK yang diterima Freeport sejak Februari tahun ini selama masa perundingan masih belum berakhir.  Perpanjangan IUPK sejalan dengan perpanjangan perundingan yang kemungkinan besar akan disepakati pemerintah dan Freeport hingga 10 Oktober 2017.
Dengan demikian kegiatan ekspor konsentrat yang didapatkan Freeport dari IUPK sementara yang diterima masih bisa berjalan.

“Jadi ekspor tetap jalan, karena tidak ada hubungannya dengan itu. Ekspor kan membangun (smelter) kalau dia bangun ya tetap saja dikasih,” ungkap Bambang.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, sebelumnya mengakui perpanjangan negosiasi setelah Freeport mengajukan perpanjangan tersebut.

“Kita tinggal tunggu Freeport dia mengajukan  extension waktu perundingan tidak? Saya kira pasti,” ungkap dia.

Perpanjangan waktu negosiasi hampir dipastikan akan terjadi apalagi setelah Freeport-McMoRan Inc, induk usaha Freeport Indonesia mengirimkan surat keberatan kepada pemerintah terkait mekanisme perhitungan divestasi.

Dalam surat tersebut Freeport menganggap mekanisme divestasi yang diajukan pemerintah Indonesia tidak memberikan win win solution bagi kedua belah pihak yang bernegosiasi.

Poin pertama surat tersebut adalah menyangkut divestasi saham sampai kepemilikan Indonesia mencapai 51% yang seharusnya selesai pada 2011, sehingga pelaksanaan divestasi merupakan kewajiban Freeport yang tertunda. Freeport menyatakan tidak setuju dengan pernyataan yang termasuk dalam dokumen dan menyampaikan tanggapan dan klarifikasi atas posisi pemerintah.

Kedua, posisi pemerintah bahwa valuasi harga divestasi 51% saham dihitung berdasarkan manfaat kegiatan usaha pertambangan hingga 2021 atau hingga kontrak berakhir. Namun Freeport tetap bertahan bahwa divestasi harus mencerminkan nilai pasar wajar hingga 2041.

Ketiga, Freeport tidak menginginkan rencana penerbitan saham baru atas rencana divestasi 51% saham.

Keempat, Freeport menerima pihak Indonesia memegang kendali hingga 51% saham dengan syarat divestasi dihitung berdasarkan nilai wajar hingga 2041.

Kelima, Freeport menanggapi permintaan pemerintah untuk melakukan due dilligence dan mempermudah untuk mendapatkan akses.(RI)