JAKARTA –  Penerimaan negara  dari  PT Freeport Indonesia  kemungkinan tidak akan naik kenaikan setelah masa perpanjangan kontrak diraih nanti. Pasalnya, Freeport akan mendapatkan keringanan pajak selama masa operasi hingga 2041. Padahal pemerintah mengumbar janji peningkatan penerimaan negara setelah Freeport merubah statusnya dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambagan Khusus (IUPK).

Hal tersebut terungkap dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah yang dibuat khusus untuk pemegang kontrak karya  mineral logam yang belum berakhir dan melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangan menjadi pemegang IUPK operasi produksi.

Dalam draft dari RPP BAB VII pasal 14 yang diterima Dunia Energi terdapat salah satu poin utama,  yakni ketentuan pembayaran pajak oleh Freeport sebesar 25% sebagai tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha. Ini berbeda dengan ketentuan pada KK yang menetapkan pajak penghasilan badan usaha sebesar 35%.

Namun demikian ada klausul lain dimana Freeport harus membayar bagian negara sebesar 10% dari keuntungan bersih (setelah dikurangi PPh) pemegang IUPK dengan  masing masing kepada dari pemerintah pusat sebesar 4% dan pemerintah daerah 6%.

Sepintas jumlah persentase yang harus disetor Freeport sama, namun yang harus diingat adalah 35% pada rezim KK adalah dihitung dari laba perusahaan sebelum dikurangi bunga utang dan pajak terutang atau EBITDA.

Sementara untuk mekanisme yang disiapkan di bakal aturan baru nantinya Freeport akan dikenakan PPh 25% ditambah dengan tambahan bagian pemerintah pusat dan daerah dari laba setelah pajak.

Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan, mengakui tidak mengetahui detail dari RPP tersebut. Pasalnya ada tim sendiri yang saat ini sedang membahas pembentukan beleid tersebut.

“Itu ada tim sendiri yang sedang negosiasi sekarang. Nanti Kementerian Keuangan akan bicara dengan Kementerian ESDM, akan bicara dengan Kementerian BUMN. sedang dalam proses,” kata Mardiasmo saat ditemui disela Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Selasa (3/10).

Menurut Fahmy Radhi pengamat energi dari Universtias Gadjah Maba, pemerintah harus tegas terhadap komitmen peningkatan penerimaan negara dalam bentuk pajak dan royalti yang telah disepakati bersama dengan Freeport.

Jika ada jenis pajak yang turun maka harus ada komponen pajak lain yang naik sebagai penyeimbang. Sehingga secara keseluruhan penerimaan negara akan naik.

“Kalau tidak terjadi kenaikan penerimaan negara berarti draft PP itu bertentangan dengan kesepakatan antara pemerintah dan Freeport,” ungkap Fahmy.

Satya Wira Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR,  menilai pemerintah harus memastikan posisinya kuat terhadap Freeport.

“Yang penting prevailing law, maksudnya tergantung hukum pajak yang berlaku. Adakalanya nanti penerimaan negara naik,” tandas Satya.

RPP itu juga nantinya direncanakan akan berlaku tidak hanya bagi Freeport Indonesia,  tapi juga Amman Mineral yang sama-sama sedang dalam masa transisi perubahan status kontrak dari KK menjadi IUPK. (RI)