JAKARTA – Indonesia memiliki pengalaman yang kurang bagus dalam pengembangan pembangkit listrik. Proyek pembangkit 10.000 MW tahap I maupun II tersendat. Kini, pemerintah telah mencanangkan proyek pembangkit 35.000 MW. Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha meminta pemerintah mempertimbangkan risiko-risiko pembangunan pembangit listrik 35.000 megawatt untuk menghindari dari kerugian.

“Risiko-risiko harus diperhitungkan. Misalnya, kalau terbangun 35.000 megawatt akan pakai mekanisme pembeliannya harus take or pay. Kalau pakai take or pay, otomatis berapa pun yang diproduksi harus dibeli PT PLN (Persero),” tutur dia.

Untuk mengatasi hal tersebut, menurut dia, pemerintah harus memastikan listrik terserap penuh sehingga tidak ada idle capacity yang harus dibayar PLN. Kalau menggunakan take or pay listrik yang tidak terbeli akan tetap dibayar pemerintah secara penuh. “Di situ liability di pemerintah. Bisa jadi utang negara kalau ada ketidaksesuaian antara permintaan dan kapasitas yang dipasang. Kalau permintaan rendah, yang dipasang tinggi, yang rugi negara dalam hal ini PLN,” tegasnya. .

Pemerintah, kata dia, juga perlu memperhatikan mengenai izin dan pembebasan lahan agar pembangunan pembangkit tidak terhambat. Pembebasan tanah yang terhambat dapat menimbulkan keraguan dari kalangan pengusaha sehingga Satya menyarankan pembebasan secara business to business (b to b), bukan business to government (b to g).

Selanjutnya, tambah Satya, risiko yang perlu diperhatikan pemerintah adalah ketentuan harga karena penguasaan pembangkit sebagian oleh swasta (Independent Power Producer/IPP) yang sebagian besar asing. “Itu harus dipenuhi semuanya. Kalau bisa diselesaikan, kenapa kita ragu?” ujar dia.

Kepala Pusat Kajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa menyarankan pemerintah memastikan kualitas pembangkit listrik yang dibangun oleh pihak swasta asing. “Pembangkit tidak boleh ada kualitas kedua, ini masalah jangka panjang, tidak ada lima tahun, setidaknya 20 tahun. Ini investasi jangka panjang. jadi tidak boleh ada kata-kata harga murah lalu kualitas tidak baik,” tegasnya.(RA)