JAKARTA – Pemberian keistimewaan (privilege) kepada PT Pertamina (Persero) khususnya di sektor hulu minyak dan gas bumi nasional tidak menyalahi konstitusi karena perusahaan adalah badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi sebagai representasi negara. Dominasi pengelolaan hulu migas oleh Pertamina sebagai national oil company (NOC) masih rendah dibandingkan dengan NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar seperti Brazil 81%, Aljazair 78%, Norwegia 58%, dan Malaysia 47% sedangkan Pertamina sekitar 20%.

“Akan lebih bagus dalam revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diinisiasi oleh DPR, Pertamina diberikan semua privilege, tapi tidak menjadikannya sebagai regulator. Namun, pemberian privilege itu harus diiringi dengan perbaikan tata kelola korporasi,” ujar Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR di Jakarta.

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 36 Tahun 2012, terdapat 14 pasal UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang inkonstitusional. Pertamina tidak berperan sebagai tuan di negara sendiri, sebagaimana berlaku bagi NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar karena dominasi pengelolaan hulu migas oleh perseroan cukup rendah.

Berlakunya UU No 22 Tahun 2001 membuat hak eksklusif BUMN mengelola migas dalam UU No 44 Prp/1960 dan UU No 8/ 1971 hilang. Pengelolaan migas beralih kepada kontraktor asing melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang sekarang berganti nama menjadi  SKK Migas.

Pertamina EP menangi perkara hubungan industrial di Banda Aceh

Menurut Satya, pentingnya memberikan keistimewaan kepada Pertamina sebagai NOC sehingga ke depan Pertamina menjadi punya nilai lebih daripada saat ini. Contoh privilese yang diberikan  antara lain setiap kontrak yang akan habis (expired) Pertamina diberikan first right of refusal. Bisa juga semua blok-blok yang bagus dibeikan ke Pertamina, sementara sisanya baru diberikan kepada kontraktor bagi hasil (poduction sharing contract/PSC) dengan yang lain. “Banyak cara untuk menjadikan Pertamina besar,” katanya.

DPR menurut Satya masih mendiskusikan revisi UU Migas. Salah satu klausul yang dimasukkan dalam revisi UU Migas adalah soal tata kelola sektor hulu migas.

“Ada kelompok yang menginginkan Pertamina seperti zaman dulu,  operator sekaligus regulator. Kalau ini terjadi, kasihan Pertamina-nya,” tandas Satya.

Hingga kuartal III 2016, kinerja finansial Pertamina tumbuh positif, naik 209% menjadi US$ 2,83 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu senilai US$ 914 juta. Pencapaian kinerja keuangan Pertamina disokong peningkatan kinerja operasi dan efisiensi dari berbagai inisiatif dan langkah terobosan yang dilakukan perusahaan.

Syamsir Abduh, Anggota Dewan Energi Nasional, mendukung agar revisi UU Migas nanti dapat memperkuat posisi Pertamina sebagai NOC dan menjadikan Pertamina sebagai representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan migas sehingga fungsi dan kewenangan SKK Migas diserahkan ke Pertamina.

“Percepatan penyelesaian RUU Migas akan memberi solusi komprehensif untuk menjawab persoalan migas dari hulu ke hilir dalam upaya mendukung kedaulatan energi,” ujarnya.

Menurut Syamsir, peraturan pengganti UU (perpu) dapat menjadi solusi atas kedudukan SKK Migas yang belum jelas, bahkan berpotensi ilegal dan tentunya bisa membahayakan kelangsungan pengelolaan migas di tanah air.

Dalam Revisi UU Migas, Pertamina diusulkan menggantikan SKK Migas menjadi regulator, pengawas dan operator kegiatan usaha hulu migas di Tanah Air. Kewenangan perumusan kebijakan dan strategi tetap berada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Perubahan kelembagaan SKK Migas dinilai lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi.

Fahmy Radhi,  Mantan Anggota Tim Refomasi Tata Kelola Migas, sebelumnya mengatakan revisi UU Migas harus memberikan privilese kepada Pertamina.  Keistimewaan yang diberikan kepada Pertamina itu meliputi pemberian hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru (new block offered), hak utama untuk mengakuisisi partisipasi interest (existing contract), dan hak utama untuk mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir (expiring contract).(RA/RI)