Pengembangan shale gas di China.

JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menjadi perusahaan energi pertama yang menandatangani Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) PSC pengembangan potensi “shale gas” di Indonesia. PSC itu diteken dalam forum Konvensi dan Pameran Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-37 di Jakarta pada Rabu, 15 Mei 2013, setelah melalui proses pengusulan ke pemerintah sejak 2011.

PSC shale gas yang ditandatangani Pertamina itu disebut PSC Migas Nonkonvensional (MNK) Sumbagut (Sumatera Bagian Utara). Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengatakan, langkah ini telah menempatkan Pertamina sebagai pioneer (pelopor, red) pengembangan shale gas di Tanah Air.

Karen menuturkan, proses pengusulan investasi MNK Sumbagut oleh Pertamina, telah dimulai sejak 2011 yang diawali dengan studi bersama Tim Pemerintah. Dalam operasionalnya, Wilayah Kerja MNK Sumbagut akan dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) MNK Sumbagut.

“Kami berharap penandatanganan PSC MNK ini menjadi momentum yang baik untuk masa depan pengembangan energi alternatif, terutama shale gas di Indonesia yang memiliki sumberdaya cukup besar,” kata Karen.

Kelak, ujarnya, shale gas bisa mendukung pemerintah untuk melakukan diversifikasi energi di Indonesia, sehingga ketergantungan terhadap minyak dapat dikurangi. MNK Sumbagut akan diprioritaskan untuk pasokan domestik (dalam negeri) terutama di Provinsi Sumatera Utara.

MNK Sumbagut diperkirakan mengandung potensi shale gas sebesar 18,56 triliun kaki kubik (TCF). Pertamina menargetkan, produksi perdana dapat diperoleh pada tahun ke-7 setelah enam tahun tahap eksplorasi perdana, dengan tingkat produksi sebesar 40 MMscfd hingga 100 MMscfd.

“Pertamina berkomitmen untuk investasi sebesar US$7,8 miliar selama masa kontrak MNK Sumbagut berlangsung,” ungkap Karen.

Potensi Besar

Karen memaparkan, besarnya kebutuhan gas di dalam negeri dan menipisnya potensi gas Indonesia, menggerakkan Pemerintah untuk melakukan berbagai usaha, guna menambah supplai gas dalam negeri. Diantaranya lewat berbagai studi untuk mengetahui potensi Migas Nonkonvensional (MNK) yang ada di Indonesia. Dari studi itu diketahui, Indonesia memiliki potensi shale gas sebesar 574 TCF dan potensi CBM (Coal  Bad Methane/gas methana batubara) sebesar 453 TCF.

Keseriusan Pemerintah terlihat dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor: 05 tanggal 31 Januari 2012 tentang “Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional”.

Dalam Permen ESDM itu ditentukan, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas konvensional dan KKKS CBM yang memiliki potensi Migas Nonkonvensional di wilayah kerjanya (yang eksisting) memiliki privilese (keistimewaan, red) untuk mengajukan usulan pengusahaan MNK di daerah operasinya.

Risiko Tinggi

Pengertian Migas Nonkonvensional yang dikenal dengan singkatan MNK berdasarkan Permen ESDM No.05 Tahun 2012 adalah Minyak dan Gas Bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya Minyak dan Gas Bumi dengan permeabilitas yang rendah (low permeability) yang diusahakan dengan teknologi tertentu seperti fracturing.

Yang termasuk MNK antara lain Shale Oil, Shale Gas, Tight Sand Gas, Gas Methana Batubara (CBM) dan Methane Hydrate (gas hidrat). Besarnya biaya investasi yang diperlukan dan resiko yang tinggi dalam pengembangan MNK, menuntut dukungan dan sinergi pemerintah dengan Operator pelaksana kegiatan serta regulasi yang mendukung kegiatan eksplorasi dan produksi MNK.

PSC MNK Sumbagut yang baru diteken Pertamina sendiri, akan berlaku selama 30 tahun. Diawali dengan fasa eksplorasi 6-10 tahun pertama, dan dilanjutkan dengan fasa pengembangan dan produksi sampai dengan akhir kontrak.

(Abdul Hamid/duniaenergi@yahoo.co.id)