JAKARTA– Berbagai cara dilakukan untuk bisa mempercepat implementasi program bahan bakar minyak (BBM) satu harga secara nasional. Kebutuhan dana yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pendukung penyaluran di daerah menjadi salah satu tantangan terbesar.

PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, mendapatkan tugas untuk menjalankan program tersebut sampai harus menanggung bahkan merogoh kocek sendiri untuk meningkatkan margin keuntungan bagi para investor. Hal ini dilakukan untuk menarik minat investor untuk membangun Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) konvensional atau fasilitas penyaluran dalam bentuk yang lebih kecil.

Henry Achmad, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan tambahan margin yang dilakukan oleh Pertamina baru dilakukan untuk implementasi BBM satu harga di wilayah Papua.
Dia menjelaskan keuntungan yang diperoleh investor dari penjualan BBM satu harga hanya Rp 150 per liter. Jumlah itu dianggap terlalu kecil dan tidak sesuai dengan keekonomian apalagi jika dibandingkan dengan modal yang harus dikelauarkan untuk membangun fasilitas di daerah pendalaman sepert di Papua.

“Ini orang (investor) tidak semangat. Katakanlah orang berinvestasi misalnya Rp 150 juta, kalau seharinya 300 liter, 300 liter x Rp 150 baru Rp 45 ribu siapa yang mau investasi segitu,” kata Henry di Jakarta, Rabu (18/10).

Dengan kondisi tersebut Pertamina pun memberikan rangsangan dengan menambahkan margin yang diperoleh investor. Perusahaan migas plat merah tersebut sampai harus menambahkan margin sebesar Rp550 per liter. Sehingga investor memperoleh margin sekitar Rp700 per liter.

“Pertamina untuk Papua memberikan ragsangan. Ayo, Anda investasi disana kami tambahkan marginnya (jadi) Rp700 per liter. Kalau orang (investor) mau, yang menanggung Pertamina,” ungkapnya.

Pemerintah dan BPH Migas memang tidak tinggal diam, sambil tengah mencari cara yang tepat untuk meningkatkan minat investasi. Salah satunya adalah dengan meningkatkan efisiensi modal investasi yang harus dikeluarkan para investor.

Henry menjelaskan untuk efisiensi modal, standardisasi pembangunan suatu lembaga penyalur atau SPBU diturunkan. Namun untuk persyaratan teknis misalya lahan tetap memadai paling kecil memiliki luas 100 M kemudian gudang tempat penyimpanan BBM tidak harus didalam tangki timbun di dalam tanah, tapi tetap diberikan jarak dari rumah warga.

Lalu untuk pompanya, lanjut Henry, tidak perlu menggunakan dispenser dan nozzle seperti di SPBU konvensional tapi cukup dengan pompa tangan namun tetap memperhatikan kualitas keamanan, serta tetap harus bisa dilakukan tera atau pengukuran oleh Badan Metrologi.

Dengan syarat-syarat yang diturunkan seperti itu, biaya yang dibutuhkan diperkirakan hanya sekitar Rp 75 juta.  “Seperti di Sumbawa kalau bisa Rp 75 juta kenapa kita tidak bikin Rp 75 juta. Tidak usah muluk-muluk. Jadi investasi akhirnya menjadi murah,” katanya. (RI)