CIREBON – PT Pertamina (Persero) menyiapkan dana US$12 miliar atau Rp162 triliun (asumsi kurs Rp13.500 per dolar AS) untuk mengelola dua ladang minyak di Iran, Ab-Teymour dan Mansouri (Bangestan–Asmari). Pertamina saat ini masih harus bersaing dua perusahaan migas dunia lainnya, Lukoil asal Rusia dan Maersk, operator migas terbesar di Denmark untuk bisa mengelola dua ladang minyak yang memiliki cadangan hingga lima miliar barel tersebut.

“Investasi kita siapkan total sekitar US$12 milliar untuk masuk ke Iran,” ujar Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina kepada Dunia Energi di Cirebon, Jawa Barat, Senin (10/4).

Menurut Syamsu, sebagai perusahaan pertama yang menyerahkan proposal dengan kajian sangat lengkap menunjukkan level keseriusan Pertamina yang paling tinggi. Dalam proposal yang diajukan ke National Iranian Oil Company (NIOC), Pertamina bahkan telah menyebutkan rencana pengembangan dua blok yang ditawarkan, termasuk berbagai strategi sehingga bisa meningkatkan produksi.

“Kita sih optimistis, tapi kemenangan tergantung Iran. Kita adalah perusahan yang pertama memasukan proposal ke NIOC,” kata dia.

Selain itu, ada keunggulan lain yang dinilai tidak dimiliki para pesaing Pertamina, yakni dukungan pemerintah Iran dan Indonesia dalam rencana kerja sama antara Pertamina dengan NIOC. Pertemuan antar pemerintahan kedua negara intensif dilakukan dalam satu tahun terakhir, mulai pertemuan kepala pemerintah hingga pembicaraan business to business antara Pertamina dan NIOC

Syamsu mengatakan adanya kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Iran sudah secara eksplisit menunjukkan keinginan pemerintah Indonesia agar Pertamina mendapatkan hak pengelolaan dua aset minyak milik Iran tersebut.

“Itu saya kira dukungan yang luar biasa. Jadi sekarang semua tergantung dari pemerintah Iran, apakah cukup puas dengan yang kita ajukan,” ungkap dia.

Syamsu menegaskan proses akuisisi dua lapangan minyak Iran tersebut juga tidak akan terpengaruh sanksi Amerika Serikat terhadap Iran, berupa larangan berbisnis perusahaan asal Amerika Serikat dengan Iran.
Dia mengakui situasi geopolitik mempengaruhi keputusan dari sisi berbisnis secara internasional suatu perusahaan. Namun, sanksi AS tersebut sampai saat ini belum berpengaruh signifikan, termasuk kepada bisnis Pertamina.

“Kita harus tahu dulu baru kemudian apakah berkaitan dengan kegiatan korporasi . Kalau sanksi tersebut saya belum melihat ada pengaruhnya,” kata Syamsu.

Denie S. Tampubolon, Senior Vice President Upstream Business Development Pertamina, mengungkapkan banyak parameter yang harus dipertimbangkan ketika memasuki komunitas migas global, salah satunya faktor geopolitik. Namun itu tidak lantas membuat Pertamina jalan ditempat dalam berbisnis dengan mitra internasional.

Untuk kerja sama dengan Iran misalnya, ada sanksi AS tidak mempengaruhi kerja sama yang dilakukan Pertamina. Bahkan impor LPG sudah berjalan sejak tahun lalu, kemudian rencana impor minyak juga tidak berubah. Saat ini crude oil dari Iran tengah diuji coba di kilang Cilacap. Hal yang sama juga terjadi di sektor hulu dengan rencana akuisisi yang terus terjalin, baik komunikasi dengan NIOC hingga sekarang.

“Bahwa kalau ada sanksi kita perhatikan, tapi tidak menutup atau menghentikan upaya mengembangkan hulu,” tandas Denie.(RI)