JAKARTA – Rencana PT Pertamina (Persero) untuk mengakuisisi hak partisipasi Proyek Jambaran Tiung (JTB) kembali harus tertunda akibat belum adanya kesepakatan harga antara Pertamina dan end user gas, yakni PT PLN (Persero). Kedua perusahaan saat ini baru melakukan pembahasan awal jual beli gas. Padahal proyek tersebut direncanakan sudah berjalan pada awal 2017.

Adriansyah, Direktur Utama Pertamina EP Cepu (PEPC), mengungkapkan kesepakatan harga sangat penting untuk bisa
digunakan sebagai bahan perhitungan perusahaan untuk mengajukan nilai penawaran akuisisi hak partisipasi proyek Jambaran Tiung Biru dari Exxonmobil Indonesia.

“Kalau kita mau ajukan penawaran ke Exxonmobil kan harus tahu risikonya, sehingga kita punya range penawaran. Kita harus tahu end user dari proyek, siapa yang menyerap dan berapa harga yang diinginkan management baru,” kata Adriansyah kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

Menurut Adriansyah, untuk harga dari sisi upstream sebenarnya PEPC tidak menjadi masalah dan disepakati dengan pemerintah bahwa harga jual sesuai dengan keekonomian sebesar $US 7 per MMBTU dengan eskalasi 2%. Hanya saja dari sisi midstream dan downstream ada komponen yang menyebabkan harga kembali meningkat.

Pihak PLN dikabarkan hanya sanggup membeli gas JTB dengan harga US$ 7 per MMBTU. Padahal biaya toll fee-nya sekitar US$ 1,5 melalui Pipa Gresik – Semarang (Gresem).

Namun Adriansyah yakin biaya transportasi dan distribusi masih bisa didiskusikan antar management yang terpenting adalah kepastian diatas hitam putih penyerapan gas oleh PLN.
“Kalau PLN sanggup US$ 7 oke, toll fee kita bisa bicarakan, tapi ada kesepakatan dulu dari PLN. Pak Massa (Dirut Pertamina) bilang mana kesepakatan resminya, seperti HoA,” kata dia.

Belum adanya kesepakatan harga gas dan rencana akuisisi hak partisipasi berpengaruh terhadap proyek Jambaran Tiung Biru. Padahal Pertamina pada awalnya menargetkan proses akuisisi bisa selesai pada Mei 2017, sehingga tahap konstruksi bisa langsung dilanjutkan untuk mengejar target on stream pada 2020.

Pertamina EP Cepu masih optimistis menyelesaikan proyek tepat waktu dengan syarat kesepakatan penjualan gas bisa ditetapkan maksimal pada tahun ini. Itu pun masih dibayangi risiko tinggi molornya penyelesaian proyek.

“Kalau kita lihat proyek-proyek EPC di Indonesia itu yang tepat waktu jarang sekali, itu yang saya khawatirkan. Kalau di awal tahun saya punya spare satu tahun delay sehingga masih on stream 2020. Tapi makin pendek spare saya delay jadi enam bulan. Bisa capai target tapi mepet sekali,” ungkap Adriansyah.

Proyek JTB merupakan bagian dari wilayah Blok Cepu. PEPC memiliki saham 45%, Ampolex (anak usaha Exxon) 24,5% , Exxon 20,5% dan BUMD 10%.

Akuisisi hak partisipasi Exxonmobil merupakan tindak lanjut Surat Menteri ESDM No 9/13/MEM.M/2017 tertanggal 3 Januari 2017 yang memerintahkan Pertamina untuk mengembangkan secara penuh lapangan JTB dan menyelesaikan perbahasan dengan ExxonMobil secara business to business.

JTB diproyeksikan menjadi salah satu andalan dalam produksi gas nasional beberapa tahun kedepan dengan target mampu memproduksikan gas sebesar 172 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dari kapasitas plant sebesar 330 MMSCFD.

Erwin Manager Public and Government Affairs Exxonmobil Indonesia, mengatakan Exxonmobil masih menunggu penawaran Pertamina dalam proyek JTB. Sambil menunggu negosiasi berlangsung, persiapan tetap berjalan untuk mengurangi risiko molornya proyek. “Kita sih persiapan tetap jalan, masalah komersial juga jalan jadi paralel. Jadi tidak akan ganggu persiapan JTB ” tandas Erwin.(RI)