JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengusulkan formulasi baru  penetapan harga minyak mentah nasional jatah produksi milik pemerintah sehingga ada kepastian harga dengan dipatok mengikuti asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Pemerintah kan mendapat alokasi yang porsinya Domestic Market Obligation (DMO), kalau di batu bara DMO. Kalau di sini (minyak) adalah government take, ini yang harganya kami minta Pertamina jangan beli dengan harga pasar. Itu usulan,” kata Nicke Widyawati, Pelaksana Direktur Utama Pertamina di sela rapat dengan Komisi VI  di gedung DPR RI Jakarta, Rabu (25/4).

Lebih lanjut Ia menyatakan selama ini Pertamina harus membeli dengan harga pasar. Padahal jika bisa dipatok mengikuti asumsi APBN saja ketika harga minyak tinggi maka Pertamina bisa melakukan penghematan.

“Kami yakin bisa menekan financial lost,” tukasnya.

Menurut Nicke, selama ini porsi minyak mentah dari bagian pemerintah yang diserap Pertamina cukup besar. Jika usulan penetapan harga disetujui maka akan berdampak signifikan terhadap keuangan perusahaan.

“Kurang lebih 35% kilang kami menggunakan crude porsinya pemerintah. Ini yang kami usulkan ke pemerintah,” kata dia.

Kebijakan baru tersebut dinilai cukup penting, pasalnya keuangan Pertamina  diprediksi akan terus tergerus. Dalam data perusahaan tahun ini Pertamina diprediksi masih akan membukukan laba US$ 2,4 miliar, dengan asumsi harga minyak sesuai APBN sebesar US$ 48 per barel. Namun, jika harga minyak mentah terus naik, sementara harga BBM diputuskan tetap, maka dengan asumsi harga minyak mentah menyentuh US$ 60 per barel, laba bisa terpangkas menjadi hanya US$ 1,7 miliar.

Kapasitas kilang milik Pertamina saat ini tercatat sebesar 1,1 juta barel per hari. Pada tahun lalu, guna memenuhi kebutuhan kilang, perseroan mendapat pasokan minyak mentah dari dalam negeri sebesar 181,5 juta barel. Namun lantaran masih kurang, perseroan juga harus mengimpor 140 juta barel.(RI)