JAKARTA – PT Pertamina (Persero) tengah mengkaji untuk memproduksi varian bahan bakar baru, Biopertamax dengan mencampur Pertamax dengan bioethanol. Saat ini kajian dilakukan untuk menentukan mekanisme pencampuran serta harga jual kepada masyarakat.

“Jadi nanti bisa ada nozzle-nya dan sebagainya di SPBU ke depannya. Jadi khusus untuk Biopertamax. Biopertamax itu menggunakan ethanol,” kata Syamsir Abduh, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) saat ditemui usai konferensi pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (12/10).

Rencana pencampuran ethanol dikhususkan untuk campuran bahan bakar dengan RON minimal 92. Itu berarti hanya akan dicampur dengan BBM jenis Pertamax.

Pencampuran ethanol sesuai dengan amanat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Dalam beleid tersebut diamanatkan penggunaan bioethanol untuk usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum (PSO) pada 2020 sebesar 5% dan untuk  transportasi non PSO, industri dan komersial sebesar 10%. Pemanfataannya akan ditingkatkan di lima tahun berikutnya yakni masing-masing sebesar 20%.

Dalam penerapannya nanti, Biopertamax diharapkan mampu diterima di masyarakat dengan syarat harga yang harus bisa bersaing dengan jenis BBM yang sudah ada.

“Jadi menunjukkan bahwa, kalau dia membeli gasoline yang ramah lingkungan, akan dikompensasi dengan harga yang lebih murah,” kata Syamsir.

Untuk bisa mengimplementasikan penerapan bioethanol diperlukan peran serta dari berbagai pihak,  termasuk Kementerian Keuangan.

Menurut Syamsir, Kementerian Keuangan sudah diminta untuk memimpin tim kajian penerapan bioethanol.

“Tapi ada keberatan dari Kementerian Keuangan karena secara teknis itu usulan datang dari sektornya dulu, baru nanti dia kaji secara teknis,” ungkap dia.

Saleh Abdurrahman, Sekretaris Jenderal DEN, menyatakan insentif dari Kementerian Keuangan bisa turut membantu membuat harga bioethanol menjadi lebih kompetitif. Apalagi sampai sekarang harga ethanol masih tinggi.

“Ini yang menyebabkan harga BBM berbahan ethanol akan tinggi, ” tukasnya dia.

Selain Kemenkeu, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perhubungan dan stake holder lainnya juga turut ambil bagian dalam kajian.

“Pak menteri meminta tadi untuk implementasi E2,E5 dan seterusnya itu perlu ada kajian integrasi tidak hanya pemerintah, tapi ada Hiswana, Gaikindo, sehingga dari sisi engine selesai,” tandas Saleh.(RI)