JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) melakukan berbagai upaya untuk mempercepat realisasi proyek-proyek panas bumi, mulai dari pemboran hingga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

“Saat ini semua sedang dikerjakan. Bahkan untuk  rig bor kami sampai menggunakan delapan rig pemboran dan membangun empat PLTP secara bersamaan, sepertinya kami sudah full speed,” ujar Tafif Azimudin, Sekretaris Perusahaan PGE, di Jakarta, Rabu (13/7).

Hingga akhir 2016, kapasitas terpasang PLTP yang dikelola PGE menjadi 542 megawatt (MW) dengan masuknya tambahan 105 MW dari tiga pembangkit, yakni PLTP Ulubelu Unit 3 berkapasitas 55 MW, PLTP Lahendong Unit 5 berkapasitas 20 MW, dan PLTP Karaha Unit 1 berkapasitas 30 MW.

“Untuk merealisasikan tiga proyek PLTP tersebut, Pertamina telah mengeluarkan investasi hingga US$525 juta,” jelas Tafif.

PGE pada 2017 juga akan menjadi perusahaan yang mengelola PLTP dengan total kapasitas terbesar, yakni 677 MW. Total investasi yang dikeluarkan untuk membiayai pembangunan PLTP dengan kapasitas tersebut  ditaksir mencapai US$5 miliar. “Kami juga menyiapkan US$2,5 miliar untuk meningkatkan lagi kapasitas PLTP menjadi 907 MW pada 2019,” katnya.

Menurut dia, secara umum tidak ada kendala yang berarti dalam merealisasikan proyek-proyek panas bumi. Namun PGE menemui kendala pada proyek Lumutbalai, Lampung. Lokasi yang direncanakan dibangun konstruksi PLTP setelah dibuka ternyata merupakan zona patahan yang sangat berpotensi longsor sehingga menghambat kemajuan proyek.

“Selain itu, terjadinya bencana longsor di Hululais, Bengkulu yang merusakkan tiga sumur. Tentu ini akan memundurkan realisasi proyek,” katanya.

Sementara itu, lanjut Tafif, untuk harga jual listrik panas bumi, saat ini sudah ada head of agreement (HoA) antara PT PLN (Persero) dan PGE. Namun, harga tersebut belum aplikatif karena masih diverifikasi Badn Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai syarat untuk adendum kontrak dengan PLN.

Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan selain menjadi pengembang panas bumi terbesar, PGE juga menjadi perusahaan yang paling besar komitmen untuk membangun PLTP hingga 2025. “Terbukti proyek-proyeknya di sembilan lokasi, mulai dari eksplorasi, eksploitasi dan kontruksi,” tegas Yunus.

Surya Darma, Ketua Masyarat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan kendala utama dalam pengembangan proyek panas bumi masih tetap dari aspek bisnis, yakni pada umumnya soal perjanjian jual beli atau power purchase agreement (PPA) belum diterima (acceptable) oleh PLN dan pengembang panas bumi.

“Pengembang berharap dapat harga yang sesuai keekonomian sebagaimana ketentuan Permen ESDM tentang harga panas bumi, tetapi belum dapat diterima PLN sebagai pembeli,” katanya.

Menurut Surya Darma, pemerintah seharusnya konsisten menerapkan peraturan tentang harga jual listrik panas bumi. Selain itu, perizinan-perizinan yang masih panjang sedapat mungkin diperpendek.  “Hal ini untuk memberikan kepastian usaha dan mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu,” tandasnya.  (RA/RI)