JAKARTA – Pemerintah diminta tetap memprioritaskan PT Pertamina (Persero) untuk mengelola blok-blok terminasi. Jika pemerintah melakukan beauty contest atau tender, Pertamina tetap harus mendapatkan hak lebih untuk mengelola melalui mekanisme first right of refusal.

Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan  mekanisme first right of refusal penetapan siapa yang akan menjadi operator di blok terminasi akan menjadi lebih adil dan transparan. Dengan cara tersebut Pertamina juga akan mendapatkan peluang terbesar untuk mengelola blok terminasi.

“Misalkan pemenang tender perusahaan A, dia menang karena dia mau drill dan lain-lain nah Pertamina dapat first right, ditawarkan ke Pertamina kalau Pertamina bisa samai pemenang tender maka Pertamina yang kerjakan,” kata Satya kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

Menurut Satya, cara seperti itu lebih bisa diterima semua pihak. Keinginan untuk mengutamakan badan usaha milik negara tetap ada tetapi tidak juga memaksakan aksi korporasi karena pemerintah tidak seharusnya melakukan itu.

Menurut Satya,  sebagai perusahaan apalagi dengan kondisi sekarang ini Pertamina pasti memiliki keterbatasan.

“Pemerinah tidak boleh memaksa Pertamina dalam aksi korporasi,  karena itu kan bisa juga dia tidak mampu mengerjakan,” kata dia.

Hingga 2018, sedikitnya ada delapan blok migas yang akan segera habis masa kontraknya. Pemerintah yang sebelumnya memberikan blok-blok terminasi tersebut langsung ke Pertamina, kemudian menganulir keputusan tersebut.

Pemerintah menghendaki Pertamina untuk kembali bersaing dengan kontraktor-kontraktor lain yang berminat mengelola  blok terminasi. Para peminat tersebut kebanyakan adalah para operator eksisting.

Yang perlu digaris bawahi adalah pemerintah terlanjur memberikan penugasan kepada Pertamina untuk mengelola blok-blok terminasi tersebut. Tentu adanya kondisi seperti sekarang membuat posisi keputusan pemerintah dipertanyakan.

Menurut Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, kondisi sekarang adalah buntut dari sikap pemerintah yang dinilai terlalu terburu-buru dalam pengambilan keputusan.

Pemerintah terlalu sering memutuskan sesuatu yang belum jelas dan belum pasti seolah seperti keputusan final. Padahal kondisinya belum matang dan masih terbuka opsi lain.

“Sebelum diberikan penugasan itu harusnya dikaji dulu secara komprehensif. Jadi bisa tepat mana yang pas untuk penugasan mana yang lebih pas dibuka (bloknya) untuk pelaku lain,” kata Pri Agung.

Ego Syahrial, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, sebelumnya mengungkapkan keputusan pemerintah untuk membuka peluang bagi kontraktor lain termasuk yang eksisting tetap bertahan di blok terminasi adalah dengan pertimbangan kinerja produksi pada saat masa peralihan dari kontraktor lama ke kontraktor baru.

“Pertamina tetap (penugasan), cuma pemerintah melihat dari dua sisi. Kita pemerintah berkepentingan agar produksi jangan sampai anjlok. Ini yang berkepentingan kita semua,” kata Ego.(RI)