JAKARTA – Proses pengambilalihan saham Exxonmobil oleh PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina EP Cepu dalam proyek gas Jambaran Tiung Biru berlangsung cukup alot. Pertamina maupun Exxon belum sepakat terkait nilai aset yang harus dibayarkan Pertamina.

Adriansyah, Direktur Utama Pertamina EP Cepu, mengungkapkan ada beberapa detail nilai valuasi yang masih belum disepakati antara kedua pihak. Belum lagi dengan permasalahan teknis juga masih dalam pembahasan.

Exxon pada awalnya berkomitmen mengebor tiga sumur untuk pengembangan lapangan Jambaran Tiung Biru. Disisi lain, Pertamina EP Cepu juga mengebor tiga sumur.

“Harusnya Exxon yang nge-drill. Jadi kan persiapannya di Exxon semua. Ketika diambilalih, ini mesti dialihkan ke kita semua. Ini kan perlu inovasi kontrak, ini perlu dibicarakan dulu. Lalu masalah tender yang dilakukan oleh mereka, apakah kita bisa terima harganya?,” kata Adriansyah di Jakarta, Senin malam (28/8).

Menurut Adriansyah, Pertamina saat ini masih melakukan evaluasi serta inovasi pada kontrak seiring pihak pertama (Exxon) berubah atau menarik diri dari proyek sehingga harus dilakukan perhitungan ulang.

Lapangan Jambaran Tiung Biru sendiri pengembangannya sempat terancam menyusul ketiadaan penyerap gas. Pasalnya, harga gas yang dipatok sekitar US$ 7 per MMBTU di hulu dianggap terlalu tinggi.

PT PLN (Persero) pun akhirnya menjadi pembeli utama gas lapangan JTB dengan kapasitas sebesar 172 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dengan harga US$ 7,6 per MMBTU di plant gate atau pembangkit listrik milik PLN.

Menurut Adriansyah, harga tersebut cukup berat bagi Pertamina, jika mempertimbangkan keekonomian proyek. Namun perusahaan cukup terbantu dengan adanya tambahan split atau bagi hasil dari pemerintah sebesar 5% sehingga bagi hasil yang awalnya 60 : 40 menjadi 55 bagi pemerintah dan 45 bagi kontraktor (PEPC).

“Mudah-mudahan tidak berubah, kalau berubah lagi ya pusing kita. Iya kalau lebih tinggi perubahannya, nah kalau lebih rendah? Masalahnya kalau delay harganya (gas) jadi mahal,” ungkap Adriansyah.

Dia menegaskan harus segera tercapai kesepakatan antara Pertamina dan Exxon terkait masalah akuisisi saham sebagai syarat untuk bisa melakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG).

Proyek Jambaran Tiung Biru sebenarnya telah masuk dalam jajaran proyek strategis nasional sehingga percepatan pengembangannya didukung pemerintah dengan berbagai kebijakan pendukung. Namun hasil akhirnya tetap harus berdasarkan kesepakatan dengan pihak Exxon.

“Ini bisa sign (PJBG) kalau Exxon melepas semua. Kalau saya tanda tangan PJBG kan artinya untuk semua gas Jambaran Tiung Biru. Ini kan masih ada Exxon. Tapi sangat tergantung dengan Exxon, kita tidak bisa paksakan, ini kan business tobusiness. ” ungkap Adriansyah.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengungkapkan salah satu solusi utama kasus Jambaran Tiung Biru adalah kemauan pemerintah untuk menurunkan bagian sebagai kompensasi ketetapan harga gas yang tidak sesuai dengan nilai keekonomian.

Menurut dia, siapapun yang masuk menjadi operator atau berinvestasi harus meyakini bahwa proyek tersebut masuk secara keekonomian atau memenuhi harapan pengembalian investasi.

“Ini kan sesuai dengan paradigma baru pemerintah bahwa migas bukan lagi sumber utama penerimaan negara tetapi untuk menggerakkan ekonomi dan pembangunan,” tandas Pri.(RI)