JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina EP terus berinovasi dalam produksi minyak dan gas, termasuk dengan menerapkan enhance oil recovery (EOR). Pada tahun ini, Pertamina EP menargetkan bisa meningkatkan produksi minyak dari metode EOR sebesar 3.372 barel per hari (bph).

“Tahun lalu realisasi dari kegiatan EOR sebesar 99 persen dari target atau hampir 3.000 bph. Tahun ini lebih tinggi lagi, 3.372 bph, mudah-mudahan bisa kita capai dengan adanya project Jirak di Sumatera Selatan,” kata Nanang Abdul Manaf, Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina EP di Jakarta.

Menurut Nanang, metode EOR cocok diterapkan di lapangan-lapangan migas Indonesia yang sudah mature atau berumur tua. Di Lapangan Jirak misalnya yang sudah lama tidak berproduksi, sehingga ketika dilakukan eksploitasi dengan teknik water flooding ternyata diyakini mampu menghasilkan produksi yang tidak sedikit. Untuk lapangan Jirak yang membutuhkan investasi US$ 3,9 juta, Pertamina EP akan melakukan pengeboran di 21 sumur work over.

Nanang mengatakan, EOR sudah dilakukan Pertamina sejak dekade 90-an. Saat itu Pertamina melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan lain, seperti di lapangan Rantau, Lirik Limau. “Jadi kita lanjutkan saja dengan lebih masif,” tukasnya.

Kendati harga minyak dunia naik, Pertamina EP tidak menurunkan berbagai aktivitas di sektor hulu dengan tetap melakukan kegiatan seismik dan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan migas. Serta meningkatkan kapasitas produksi.
Dengan belanja modal sebesar US$ 778 juta, pada tahun ini saja Pertamina massif melakukan pengeboran 13 sumur eksplorasi untuk mengejar target tambahan cadangan migas 78,19 MMBOE dan target temuan sumberdaya eksplorasi 2C sebesar 321 MMBOE.

Nanang juga berharap kondisi industri migas bisa berangsur pulih karena dengan begitu Pertamina EP juga bisa melakukan metode EOR yang lebih modern, yakni menggunakan chemical. Dalam beberapa tahun terakhir, EOR chemical memang bukan menjadi pilihan utama lantaran besarnya biaya yang dibutuhkan. Padahal hasil yang dihasilkan berpotensi lebih besar dibandingkan menggunakan metode water flooding. Besarnya biaya jika menggunakan metode chemical disebabkan mahalnya biaya chemical. Serta rangkaian dan proses penggunaannya.

“Chemical itu kan research dulu, kemudian harus kita uji dulu, belum tentu hasil uji melalui pilot project dengan yang di sumur nanti sama kalau sama baru kita tambah. Itu panjang alurnya bisa sampai lima tahun,” papar dia.

Untuk mengunakan metode chemical, maka harus ada pergerakan harga minyak yang positif sehingga masih memenuhi nilai keekonomian proyek EOR. “Jika gunakan chemical, ada polimer dan surfaktan. Hitungan kami kalau harga minyak US$ 70 ribu per barel baru masuk nilai keekonomian,” tandas Nanang.(RI)