JAKARTA – PT Pertamina EP Cepu (PEPC) menegaskan tetap akan melanjutkan pembangunan proyek Jambaran Tiung Biru (JTB) dan tengah mengkaji beberapa opsi skenario untuk bisa menekan harga gas hingga sebesar US$ 6 eskalasi 2 persen per MMBTU sehingga bisa diserap pasar.

“Itu yang sedang kita bicarakan. Biaya capex mestinya bisa kita tekan, serta risiko yang tidak pasti. Kita sebenarnya bisa optimalisasi secara teknis dan usahakan juga dengan kondisi sekarang,” kata Adriansyah, Presiden Direktur Pertamina EP Cepu.

Menurut Adriansyah, dengan kondisi harga keekonomian PEPC di angka US$ 8 per MMBTU memang sulit untuk diserap pasar karena dinilai terlalu tinggi. Untuk itu, saat ini tengah disusun rencana agar cost produksi diturunkan sehingga berdampak pada harga gas.

“Misalkan Anda punya barang tidak ada yang mau beli, karena cost produksi terlalu tinggi. Bisa tidak cost diturunin tapi kualitas barang tetap terjaga,” kata dia.

Adriansyah mengatakan mahalnya harga gas membuat hasil dari lapangan JTB juga belum memiliki pembeli baru dan terjual semua. Pasalnya, Pupuk Kujang Cikampek yang awalnya akan menyerap gas 85 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) menarik diri. Pupuk Kujang sendiri hanya menyanggupi harga gas diangka US$ 7 per MMBTU.

Alokasi gas JTB pun rencananya akan diserap dan dipasarkan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertagas. Masalahnya hingga kini belum ada perjanjian jual-beli untuk gas tersebut. Karena Pertamina kesulitan memasarkan kembali gasnya.

Pemerintah sebelumnya mengusulkan simulasi pengurangan bagian 48% milik pemerintah di gas JTB agar komponen harga bisa ditekan. Jatah pemerintah dari lapangan gas ini sebesar 45,8%. Sisanya 24% untuk kontraktor dan 29,7% untuk cost recovery.

Namun menurut Adriansyah hal itu akan sulit diimplementasikan lantaran harus kembali dinegosiasikan dengan Kementerian Keuangan. Padahal kondisi keuangan negara saat ini masih belum stabil.

“Semua keputusan ada di pemerintah. Saya tidak terlalu optimistis. Kalau mau merubah itu harus lewat Bu Sri Mulyani, sementara disana cash flow-nya lagi susah jadi agak sulit,” kata dia.

Adriansyah memastikan proyek pembangunan JTB tetap berjalan sesuai rencana karena sudah memiliki kontrak yang harus dihormati.

“Artinya yang contractual work kita selesaikan sampai selesai tapi kontrak besar kita lihat perkembangannya tergantung timing-nya,” tegas dia.

Proyek Jimbaran Tiung Biru ditargetkan bisa mulai beroperasi dengan kapasitas 227 MMSCFD pada kuartal I 2019. Puncak produksi sebesar 315 MMSCFD diperkirakan bisa teralisasi pada 2020 seiring tuntasnya pembangunan seluruh fasilitas produksi.(RI)