JAKARTA – Kapasitas PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya perusahaan minyak dan gas milik negara dinilai bisa ditingkatkan dengan diberikan kepercayaan dalam mengelola industri migas nasional. Perkuat posisi Pertamina salah satunya dilakukan melalui revisi Undang-Undang Migas.

Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan seluruh fraksi sepakat agar negara memiliki suatu badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak mengikuti UU BUMN, namun memiliki tugas khusus untuk bisa mengelola cadangan migas nasional.

“Kita sedang formulasikan yang baik. Jadi nanti ada kewenangan menteri untuk menyerahkan booking reserve cadangan itu ke Pertamina,” ujar Satya di Jakarta, Selasa (31/1).

Menurut Satya, pengelolaan cadangan migas nasional bukan berarti bisa dijadikan jaminan untuk digadaikan, namun digunakan sebagai prospek bisnis untuk bisa mengembangkan usaha Pertamina sebagai National Oil Company (NOC).
“Kan nanti ada prospek bisnisnya itu yang bisa dimasukkan kalau kita mau ajukan pinjaman bukan sebagai agunan,” tegas dia.

Sesuai Pasal 33 UUD 1945 pemerintah tetap akan memegang peran utama dan memiliki kewenangan mengelola potensi migas sebagai pemegang kuasa pertambangan. Hanya saja kuasa tersebut nantinya bisa ditransfer kepada Pertamina.
Satya mengatakan kekayaan alam sebagai milik negara dan dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat harus bisa diaplikasikan dalam sebuah tindakan dan salah satu caranya adalah dengan memberi kepercayaan kepada Pertamina menjadi wakil pemerintah di sektor migas.

“Kuasa pertambangan harus ada di negara, kita nanti percayakan ke eksekutif dalam hal ini pemerintah yang jalankan BUMN,” katanya.

Konsep tersebut dinilai tidak bertentangan dengan UU yang ada. Bahkan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi saat menganulir beberapa pasal dalam UU Migas No 22 Tahun 2001 karena dianggap tidak berpihak kepada negara.
“Keikutsertaan negara melalui BUMN sesuai dengan keputusan MK,” ungkap Satya.

Selain itu, dalam draf revisi nantinya juga akan dilakukan kajian terkait status kontrak pengelolaan Wilayah Kerja (WK) migas di Indonesia. Selama ini, status antara pemerintah dan kontraktor dianggap sebagai government to business, pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) memberikan kuasa WK Migas kepada kontraktor berupa kontrak. Padahal jika merujuk pada putusan MK untuk mewujudkan kedaulatan energi, pengelolaan WK hanya dalam bentuk izin usaha.

“Jadi MK mengatakan bahwa dalam negera berdaulat itu adalah dalam bentuk izin, supaya kedudukan pemerintah dan perusahaan tidak sama ini menjadi perdebatan juga, kalau di migas, masih kontrak,” tandas Satya.(RI)