JAKARTA – Pemerintah meminta PT Pertamina (Persero) melakukan perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk merealisasikan komitmen jual beli gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dengan Exxonmobil.

IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pencarian sumber gas dari luar negeri difokuskan pada sumber yang menawarkan harga paling kompetitif. Amerika Serikat adalah salah satu produsen gas yang menawarkan harga paling kompetitif, bahkan jika dibanding dengan negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai produsen besar gas dunia.

Meski menawarkan harga gas yang lebih murah, Pertamina harus tetap memperhatikan komponen lainnya dalam perjanjian jual beli. Pasalnya, jarak yang ditempuh dari Amerika Serikat ke Indonesia lebih jauh, sehingga biaya transportasi yang diperlukan menjadi lebih besar.

“Amerika harga gasnya murah dibanding Timur Tengah, tapi harus dihitung juga oleh Pertamina jaraknya yang jauh itu,” kata Wiratmaja di Jakarta.

Pertamina dan Exxonmobil pada akhir pekan lalu telah menandatangani perjanjian komitmen jual beli LNG selama 20 tahun yang rencananya akan dimulai pada 2025 sebesar satu juta ton per tahun.

Selain dengan Exxonmobil, Pertamina sebelumnya juga telah mendapatkan kepastian pasokan impor LNG dari Cheniere Corpus Christi, Amerika Serikat sebanyak 1,5 juta ton per tahun selama 20 tahun dan dari Afrika sebanyak satu juta ton per tahun, mulai 2020 untuk jangka waktu 20 tahun.

Menurut Wiratmaja, meskipun mendapatkan harga yang murah, kontrak jual beli gas berlangsung jangka panjang. Apabila harga gas saat ini murah belum tentu akan berlangsung lama dan harga bisa saja dievaluasi. “Ada klausul price review, sehinga kalau ada perubahan harga luar biasa maka bisa direview lagi,” ungkap dia.

Wiratmaja mengatakan kesepakatan antara Pertamina dan Exxonmobil sesuai dengan perkiraan neraca kebutuhan dalam negeri akan gas yang diproyeksikan akan terus meningkat. Perjanjian ini juga dilakukan berdasarkan permintaan yang terus meningkat.

Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi permintaan gas diproyeksikan sebesar 1.436 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). “Dari neraca yang ada, 2019 kita akan kekurangan LNG,” kata Wiratmaja.(RI)