JAKARTA-  PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, sangat layak untuk diberikan prioritas dalam pengembangan energi panas bumi di Tanah Air. Pertamina terbukti sukses mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang dikelola oleh anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Saat ini, kapasitas terpasang PLTP yang dikelola PGE mencapai 437 megawatt (MW) dan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

“Pertamina akan diberikan prioritas untuk mengembangkan PLTP Kotamobagu dan Iyang Argopuro. Keduanya adalah WKP lama yang pernah digarap oleh PGE,” ujar Yunus Syaefulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.

Menurut Yunus, bentuk penugasan itu berupa penerbitan surat keputusan penugasan wilayah kerja panas bumi (WKP) sekaligus sebagai Izin Panas Bumi (IPB) untuk mengembangkan hulu hilir WKP. “Pemerintah akan memberikan insentif, baik fiskal dan nonfiskal seperti pajak pertambahan nilai (PPn) reimbursement ditanggung pemerintah hingga bea masuk impor dibebaskan untuk proyek PLTP. Harga jual listriknya juga ditetapkan pemerintah,” katanya.

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan Pertamina akan menjalankan semua penugasan dari pemerintah. Apalagi, Pertamina telah menempatkan lini bisnis panas bumi sebagai salah satu prioritas proyek strategis sesuai dengan cetak biru (blue print) pengembangan panas bumi hingga 2019.

“Di saat investor lain tidak banyak tergerak karena berbagai hambatan yang dialami, kami terus berinvestasi di sektor panas bumi,” katanya.

Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, mengatakan Pertamina sebagai perusahaan energi berkomitmen mengembangkan panas bumi dan ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia dan finansial yang cukup kuat. ApalagiPertamina sudah berpengalaman pada bisnis panas bumi sejak 1970-an,” katanya.

Menurut data Pertamina, sepanjang 2015-2019, perseroan membangun PLTP  dengan  total kapasitas terpasang 907 MW (termasuk yang existing). Total investasi untuk pengembangan pembangkit tersebut mencapai US$ 2,5 miliar. Hingga kuartal I 2016, produksi panas bumi Pertamina mencapai 761,51 GWH atau naik 6,3% pada kuartal I 2016 dibandingkan periode sama tahun lalu.

Suryadarma, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), menambahkan pengembangan energi panas bumi membutuhkan dana yang cukup besar, terutama di awal pembangunan. Untuk mendapatkan 1 MW rata-rata diperlukan dana sekitar US$2 juta sampai menghasilkan listrik diperlukan biaya sampai US$ 4 juta per MW. Hal ini disebabkan mencari sumber daya panasbumi sampai menghasilkan uap panas bumi menghadapi berbagai macam risiko baik risiko eksplorasi, risiko teknis, risiko lingkungan, dan risiko finansial.“Pada masa pemeliharaannya membutuhkan biaya yang relatif sedikit. Biaya yang  diperlukan untuk pemboran sumur produksi bisa mencapai US$ 5-7 juta per sumur. Sedangkan sumur injeksi sekitar US$ 4 juta per sumur,” katanya.

Pertamina, menurut Suryadarma, memiliki kemampuan finansial dan SDM untuk mengelola energi panas bumi Tanah Air yang   potensinya mencapai 29 ribu megawatt atau 40% di dunia. Karena itu, Pertamina wajar dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola sejumlah WKP.

Pemerintah belum lama ini memberikan penugasan kepada BUMN, salah satunya Pertamina, untuk membangun PLTP dengan total kapasitas 1.200 MW. Sedangkan rencana pengembangannya  total 610 MW dari target 2025  sebesar 7.200 MW.(RA/RI)