JAKARTA – PT Pertamina (Persero) berpotensi menanggung kerugian hingga Rp2,9 triliun akibat tidak adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar untuk periode Januari-Maret 2017.

Berdasarkan perhitungan Energy Watch untuk Mean of Platts Singapore (MOPS) plus Alpha untuk premium Jamali dengan asumsi harga minyak US$ 54 per barel dan kurs Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat, maka harga keekonomian sebesar Rp 6.500 per liter dan untuk Non Jamali sebesar 6.650. Dengan menggunakan perhitungan seperti ini, maka untuk harga premium RON 88 seharusnya naik sebesar Rp 150 per liternya.

Untuk Solar, perhitungan MOPS dengan asumsi harga minyak US$54 per barel dan kurs Rp 13.300, harga indeks pasar adalah Rp 6.400 per liter, jika pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 500 sesuai dengan hasil rapat APBN-P 2016 maka harga jual ke masyarakat adalah Rp 5.900. Harga tersebut sudah termasuk PPn 10 persen, PPBKB 5 persen dan juga iuran BPH Migas 0,3 persen dari harga dasar. Berdasarkan perhitungan tersebut maka seharusnya harga solar mengalami kenaikan sebesar Rp 750 per liter.

Mamit Setiawan, Direktur Executive Energy Watch, mengatakan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual bahan bakar minyak, terutama Pasal 15 ayat 2 dimana Harga Indeks Pasar (HIP) BBM umum ditetapkan badan usaha dan dilaporkan pada Menteri ESDM.

Seharusnya mengacu kepada Perpres tersebut, pemerintah dalam menentukan harga BBM premium dan solar berdasarkan harga keekonomian karena sudah tidak disubsidi lagi, sedangkan Pertamina menjalankan proses distribusi sehingga bisa mencapai semua daerah di Indonesia.

“Namun dalam pelaksanaanya, pemerintah tidak konsisten dalam menentukan harga premium maupun solar yang cenderung bersifat merugikan Pertamina karena harga yang di tetapkan pemerintah masih di bawah harga pasar,” ujar Mamit, Rabu (11/1).

Dampak dari kebijakan tersebut akhirnya mengorbankan Pertamina karena mereka harus menanggung selisih harga yang di tetapkan oleh Pemerintah jika dibandingkan dengan harga keekonomiannya.

Selain itu, dengan rata-rata konsumsi harian untuk premium adalah 39.500 kiloliter, maka pontensi kerugian Pertamina selama tiga bulan adalah Rp 533 miliar. Untuk solar subsidi dengan rata-rata konsumsi harian adalah sebesar 36.000 kiloliter maka potensi kerugian Pertamina dari solar selama tiga bulan adalah Rp 2.4 triliun. Maka total potensi kerugian Pertamina selama periode Januari– Maret 2017 adalah sebesar Rp 2,9 triliun.

Belum lagi, dengan disparitas harga yang cukup tinggi antara premium dengan pertalite saja, migrasi pengguna pertalite dan pertamax kembali ke premium sangat besar.

“Ini jelas akan menambah beban Pertamina karena konsumsi harian premium menjadi meningkat kembali,” tukas Mamit.

Dia mengatakan seiring tren kenaikan harga minyak mentah dunia ke level US$52–US$55 per barel untuk periode Januari 2017 – Maret 2017, maka akan berdampak langsung terhadap harga BBM di Indonesia.
Kenaikan tersebut mengakibatkan terjadinya kenaikan terhadap harga BBM non subsidi seperti pertalite, pertamax, pertamax turbo dan pertamina dex.

“BBM tersebut memang harus menyesuaikan dengan harga ke ekonomian mengingat jenis-jenis tersebut merupakan BBM non PSO,” kata Mamit.

Kebijakan kenaikan harga BBM non PSO merupakan kewenangan Pertamina selaku badan usaha untuk menaikan harga BBM Non PSO sesuai dengan ke ekonomian dimana melalui Permen ESDM No 39/2014 dibatasi margin Pertamina 5 persen-10 persen.(AT)