JAKARTA – Pemerintah diminta hati-hati untuk menerima tawaran investasi, terutama di sektor minyak dan gas dengan jumlah besar dari Arab Saudi melalui kedatangan rombongan kerajaan yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud pada 1 Maret mendatang.

Salah satu tawaran adalah rencana penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) Saudi Aramco National Oil Company (NOC) Arab Saudi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan tidak tertutup kemungkinan Arab Saudi tidak hanya menanamkan investasi, tapi juga menawarkan kepemilikan saham Saudi Aramco kepada PT Pertamina (Persero) yang merupakan national oil company.

“Bisa juga memang ada rencana mereka mau IPO, mungkin juga akan ditawarkan secara business to business ke Pertamina atau ditawarkan ke pemerintah dulu juga bisa,” kata Komaidi kepada Dunia Energi.

Perjalanan kenegaraan Raja Salman ke beberapa negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Jepang dan China, salah satunya disebut-sebut dalam rangka IPO Saudi Aramco. Kerajaan Arab Saudi berencana melepas lima persen saham. Dengan total nilai saham Saudi Aramco yang ditaksir mencapai US$2 triliun, IPO diperkirakan akan menghasilkan pemasukan lebih dari US$100 miliar bagi Kerajaan Arab Saudi.

Pihak kerajaan Arab Saudi menganggap minyak bukan lagi produk strategis apalgi sejak di temukan nya energi alternatif. Sebagai solusi, diperlukan restrukturisasi bisnis atau bangkrut sehingga rencana bisnis kedepan adalah melakukan diverifikasi investasi, dengan sumber dana  melalui pelepasan saham ke publik. Sehingga porsi bisnis kelak tidak lagi 100 persen tergantung kepada minyak.

Menurut Komaidi, pemeritah maupun Pertamina untuk berhati-hati dan mengkaji secara mendalam jika memang ditawarkan untuk mengambil saham Saudi Aramco. Pasalnya untuk saat ini saja sudah banyak berbagai program dan proyek Pertamina yang memakan dana tidak sedikit.

Nama besar Pertamina untuk bisa go internasional melalui pembelian saham Saudi Aramco tidak boleh mengorbankan rencana jangka panjang yang telah disusun.

“Kalau ada uang sih bagus, kalau tidak ada jangan dipaksakan karena tanpa ini (pembelian saham Saudi Aramco) kan Pertamina kan ada mega proyek yang nilainya mecapai trliunan,” ungkap dia.

Indonesia juga diminta tidak jumawa dan berhadap terlalu besar terhadap rencana investasi Arab Saudidi Indonesia karena dalam implementasinya investasi Arab tidak terlalu besar dan masih dibawah beberapa nagara timur tengah lainnya yang jauh lebih besar.

Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2016 realisasi investasi Arab Saudi hanya US$900 ribu atau sekitar Rp 11,9 miliar (kurs Rp 13.300) atau US$ 0,9 juta untuk 44 proyek dan hanya berada di peringkat ke 57.

Negara Timur Tengah seperti Arab Saudi selama ini memang masih berada di jajaran papan tengah daftar peringkat negara yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Posisi Arab Saudi masih jauh dibawah Iran yang berada di peringkat 33 dengan realisasi investasi US$14,3 juta untuk 16 proyek, lalu Afghanistan peringkat 35 dengan realisasi investasi US$12,3 juta untuk 40 proyek maupun Turki di peringkat 43 dengan realisasi investasi US$2,7 juta untuk 61 proyek.

“Jadi kalau melilhat itu, mengelola harapannya harus hati-hati kalau realisasinya memang bagus sih justru jadi capaian luar biasa,” kata Komaidi.

Sementara itu, poin utama yang akan didorong oleh pemerintah dalam pertemuan antar kedua negara di sektor migas adalah desakan Indonesia agar Pertamina mendapatkan harga khusus bagi minyak Arab Saudi.

Sujatmiko, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Kerjasama Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat dikonfirmasi menyatakan bahwa hal yang sudah pasti akan diminta oleh pemerintah agar Arab Saudi bisa memasok minyak ke Indonesia dengan kapasitas 110 ribu barel per hari (bph), impor LPG, penjualan avtur di Bandara Arab Saudi serta investasi kilang di Indonesia.

“Crude 110 ribu bph itu yang minta harga spesial yang mau diimporkan Arabian Light Crude. Ada efisiensi pasti kalau dapat harga yang spesial. Impor LPG kita 5 juta metric ton per tahun. Sebagian bisa mengambil dari Arab Saudi,” tandas Sujatmiko.(RI)