Suasana keseharian di lapangan migas.

Jaringan infrastruktur gas di dalam negeri.

JAKARTA – PT Pertamina (Persero) saat ini sedang mengejar target pembangunan 10 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (BBG) dan jaringan pipa gas sepanjang 22,2 kilometer (Km) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang dijadwalkan rampung pada akhir 2013.   

Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengungkapkan, ketersediaan infrastruktur utamanya SPBG dan pipa gas, merupakan faktor penentu keberhasilan program konversi energi dari bahan bakar minyak (BBM) ke BBG di sektor transportasi.  

Program konversi ini, ujarnya, merupakan upaya untuk mengurangi subsidi pemerintah terhadap BBM, serta komitmen terhadap penciptaan lingkungan yang bersih. Seperti diketahui, gas merupakan salah satu bahan bakar transportasi yang rendah emisi karbondioksida (CO2).

Untuk itu, kata Karen, sudah direncanakan, hingga akhir 2013 akan terbangun sebanyak 10 SPBG baru. Yakni 2 SPBG yang pembangunannya didanai Pertamina, 2 mother station, 2 SPBG online, dan 4 Mobile Refueling Unit. Hingga akhir 2013, Pertamina juga mengembangkan jaringan pipa di Jabodetabek sepanjang 22,2 Km yang didanai pemerintah melalui APBN 2013.

“Sudah sepatutnya program ini didukung penuh bersama-sama. Kami sangat berharap adanya kerjasama yang sinergis antara produsen gas, gas transporter, serta badan usaha atau investor, untuk bersama-sama mendorong suksesnya program gas untuk transportasi,” ujar Karen.

Apa yang disampaikan Karen ini, agaknya menjawab tantangan Kepala Sub Bagian Komunikasi dan Protokol Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Agus Budiyanto yang menyebutkan pihaknya berkomitmen menyediakan gas untuk transportasi, namun harus didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang memadai.

“Industri hulu migas berkomitmen tinggi untuk mendukung program konversi BBM ke BBG dengan menyediakan pasokan gas. Hanya saja, pasokan gas ini baru benar-benar bisa terealisasikan apabila infrastruktur yang diperlukan tersedia,” ujar Agus usai penandatanganan kontrak jual beli gas antara enam produsen gas dan Pertamina di Jakarta, Kamis, 5 September 2013.  

“Penyediaan infrastruktur ini berada di luar wewenang industri hulu migas. Untuk itu, kami berharap pemangku kepentingan terkait dapat mendorong penyediaan infrastruktur ini sehingga pasokan bisa kami realisasikan,” kata Agus lagi.

Karen sendiri menyatakan berterimakasih dan menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya, atas dukungan semua pihak dalam mewujudkan kontrak jual beli gas untuk transportasi itu. Total volume gasyang dipasok berdasarkan kontrak jual beli gas itu sendiri mencapai 30,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

“Alokasi gas tersebut diharapkan cukup untuk memenuhi kebutuhan BBG untuk transportasi di wilayah yang ditargetkan yaitu Jabodetabek, Jawa Timur dan Palembang. Untuk menjamin kontinuitas operasional SPBG, kepastian suplai gas merupakan faktor utama. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya alokasi-alokasi gas baru untuk sektor transportasi dalam jangka panjang,” kata Karen.

Antara Harga dan Politik Energi

Dalam catatan Dunia Energi, alokasi gas untuk kepentingan dalam negeri dan ekspor, memang kerap menimbulkan ketegangan antar pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan. Problem klasiknya, produsen gas yang merupakan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas, menilai harga gas ekspor lebih tinggi dibandingkan dijual di dalam negeri.

Gara-gara itu, kalangan produsen pun lebih senang mengekspor gasnya ketimbang digunakan untuk pasokan di dalam negeri. SKK Migas sendiri sebelumnya agak alot memberikan alokasi gas untuk dalam negeri, dengan alasan mengejar target penerimaan negara dari sektor hulu migas dan belum tersedianya infrastruktur yang memadai.

Bukan hanya Pertamina yang sempat mengeluh tidak mendapat pasokan gas untuk memasok kebutuhan energi di dalam negeri, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) juga kerap menjerit tidak mendapat pasokan yang memadai dari produsen atau KKKS, dalam menyediakan gas untuk industri. PT PLN juga pernah mengeluh, sulit mendapatkan pasokan gas untuk pembangkit listrik.

Toh kalangan ekonom menilai, sebesar apa pun harga gas di luar negeri, tetap lebih menguntungkan bagi negara jika gas dipasok untuk industri, pembangkit listrik, dan transportasi di dalam negeri. Karena meningkatnya penggunaan gas di dalam negeri, berarti penghematan penggunaan BBM yang selama ini sebagian besar diimpor. Selain itu, gas merupaka energi bersih yang ramah lingkungan.

Beberapa pengamat energi menyebutkan, keuntungan dari ekspor gas, terlalu kecil jika dibandingkan dengan penghematan devisa dari pengurangan impor BBM dan penghematan subsidi BBM. Dunia Energi juga mencatat, bukan hanya faktor harga yang mendorong para KKKS yang sebagian besar perusahaan dengan investor asing, mengekspor gasnya.

Tetapi ada juga motif politik energi, yakni mengamankan pasokan energi negara asalnya yang notabene tidak memiliki sumber daya alam gas seperti Indonesia. Kalau toh punya, jumlahnya juga terbatas, dan hendak disimpan untuk kepentingan cadangan masa depan energi negara mereka.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)