JAKARTA – PT Pertamina (Persero) akan menggandeng mitra strategis dalam mengerjakan setiap proyek berskala besar untuk membagi risiko usaha yang tinggi. Gigih Prakoso, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina, mengatakan untuk menjalankan berbagai proyek, Pertamina membutuhkan pendanaan yang besar. Apalagi untuk mengembangkan infrastruktur minyak dan gas yang diamanatkan pemerintah. Padahal pendanaan perusahaan juga terbatas.

Kerja sama dengan mitra adalah pilihan rasional yang bisa diambil Pertamina untuk bisa menjalankam berbagai rencana kerja yang membutuhkan dana besar.

Menurut Gigih, dari sisi finansial Pertamina memiliki banyak i keterbatasan. Tidak hanya harus memikirkan dividen ke pemerintah, namun juga menjaga kemampuan finansial dalam membiayai berbagai proyek.

“Jadi kita buka seluas-luasnya untuk joint venture atau kerja sama operasi. Berbeda jika dulu semua sendiri, tapi saat ini dengan memperhatikan kondisi dan tantangan kita buka diri, welcome dengan strategic partner,” kata Gigih saat ditemui di sela Pertambangan dan Energi Expo 2017 di Jakarta. Rabu (27/9).

Gigih mengatakan Pertamina memang perusahaan besar untuk skala nasional, namun untuk skala regional, perseroan terbilang masih sangat kecil dari sisi finansial maupun cadangan dan produksi migas. Untuk itu dibutuhkan perencanaan investasi berkelanjutan.

“Project kami dari sisi kualitas dan kuantitias sangat besar. Beberapa proyek yang masuk prioritas nasional juga sangat banyak. Kalau bermain di regional, Pertamina masih sangat kecil. Ini jadi tantangan untuk kami bagaimana meningkatkan posisi ini mulai dari regional secara berkelanjuan meningkatkan produksi dan reserve,” ungkap dia.

Menurut Gigih, berbagai tantangan besar yang dihadapi Pertamina tidak hanya untuk mengejar target perusahaan seperti untuk menjadi perusahaan yang mampu berbicara di dunia internasional tapi juga dalam mengemban berbagai program penugasan dari pemerintah, seperti bahan bakar minyak (BBM) satu harga, peningkatan infrastruktur midstream gas dan infrastruktur downstream BBM.

Hampir diseluruh sektor Pertamina membutuhkan mitra strategis untuk menggarap proyek yang dikerjakan dari hulu hingga ke hilir.  Dari sisi hulu misalnya upaya untuk meningkatkan produksi dilakukan hingga melakukan penjajakan akuisisi lapangan-lapangan di luar Indonesia.

“Kita komit tingkatkan produksi minyak. Akuisisi di luar ini butuh funding dan partner kredibel untuk bekerja bersama Pertamina,” tukas Gigih.

Proyek pengembangan dan pembangunan kilang dipastikan akan menyita dana dan risiko besar. Pemilihan mitra kerja sama sekarang menjadi salah satu poin utama perusahaan dalam melakukan investasi.

“Semakin banyak proyek, seperti refinery ini butuh project management skill yang baik. Peningkatan performa manajemen ini butuh skill partnership dari partner. Faktor teknologi lingkungan yang jadi pertimbangan kami investasi,” ungkap dia.

Menurut Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, wajar jika Pertamina merubah strategi bisnisnya, terutama dalam kondisi seperti sekarang. Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh perusahaan dengan perubahan tersebut. Pertama dari sisi distribusi risiko dan distribusi beban investasi.

“Selain itu bisa menjangkau lebih banyak proyek atau skala lebih luas,” kata dia kepada Dunia Energi.

Pri Agung mengingatkan Pertamina untuk tetap memegang kendali secara penuh dalam proyek strategis dan besar, meskipun berpartner dengan pihak lain ini untuk memastikan manfaat yang didapatkan lebih besar. Serta tujuan target proyek sesuai dengan rencana perusahaan.

“Yang penting dalam hal ini, untuk proyek besar yang strategis sebaiknya Pertamina tetap memegang (saham) mayoritas atau memegang kendali dalam pengelolaannya,” tandas Pri.(RI)