Presiden SBY saat mengumumkan terbitnya Perpres 95/2012 tentang Pembentukan Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Migas.

JAKARTA – Baru 20 hari berlaku efektif, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2012 tentang pembentukan Satuan Kerja Sementara Pelaksanaan Kegiatan Hulu Migas sebagai alih fungsi BP Migas, sudah akan digugat ke Mahkamah Agung (MA). Presiden dinilai keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membubarkan BP Migas pada 13 November 2012 lalu.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengaku menjadi salah satu pemrakarsa rencana pengajuan gugatan atas Perpres 95/2012 itu ke MA. Bersamanya, bergabung pula Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, serta sejumlah elemen masyarakat lainnya.

Upaya ini menurutnya, untuk memperjuangkan tata kelola yang benar sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Mengingat keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) lewat Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 melanggar Konstitusi. Maka dari itu pasal-pasal tentang BP Migas dalam UU 22/2001 dibatalkan oleh MK, sehingga lembaga itu bubar.

Sayangnya, kata Marwan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru menerbitkan Perpres 95/2012 tentang pembentukan Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, yang pada hakikatnya sama dengan BP Migas. Mestinya pasca pembubaran BP Migas, pemerintah langsung memberikan kewenangan lembaga itu ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan malah membentuk satuan kerja.

“Adanya lembaga pelaksana kegiatan hulu migas itu sudah dua kali ditolak MK. Pertama pada Desember 2004, dimana MK membatalkan pasal 12 UU 22/2001. Lalu yang kedua pada 13 November 2012 lalu, MK membatalkan semua pasal tentang BP Migas dalam UU 22/2001. Kok oleh presiden diadakan lagi?,” ujar Marwan kepada Dunia Energi di Jakarta, Rabu, 5 Desember 2012.

Ia pun menegaskan, sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945, kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengutip penjabaran Bung Hatta, mestinya kata Marwan, kewenangan itu ditransfer untuk dilaksanakan BUMN, terutama untuk fungsi pengendalian dan pengawasan. Bukan kepada lembaga seperti BP Migas.

Hal senada diungkapkan pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, DR Margarito. Menurutnya, Perpres 95/2012 tentang pembentukan Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, bertentangan dengan putusan MK yang membubarkan BP Migas.

“Presiden telah keliru menafsirkan putusan MK, dengan menerbitkan Perpres itu. Bagi saya hadirnya Perpres 95/2012 dan Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Migas adalah penyesatan,” jelasnya kepada Dunia Energi pada Rabu, 5 Desember 2012.

Maka dari itu, lanjutnya, gugatan atas Perpres itu akan diajukan ke MA. Karena yang bisa dimohonkan judicial review (peninjauan kembali, red) ke MK hanyalah UU. Menurutnya, pemrakarsa gugatan itu adalah sebagian mereka yang sebelumnya menggugat keberadaan BP Migas ke MK. Margarito sendiri bertindak selaku konsultan hukum para penggugat.

Margarito pun menegaskan, pengelolaan sumber daya alam migas oleh negara, sesuai Konstitusi hanya bisa dilakukan oleh BUMN. Karena fungsi sebagai regulator dan operator harus dipisahkan. Regulatornya tetap pemerintah, operatornya BUMN yang mengkoordinir kontraktor-kontraktor migas, sehingga tetap ada kedaulatan negara atas pengelolaan sumber daya alamnya.

Sedangkan selama ini, BP Migas berfungsi sebagai regulator, sementara fungsi operator diserahkan kepada kontraktor-kontraktor migas, yang notabene perusahaan-perusahaan asing. “Dengan praktik seperti itu, kedaulatan negara atas sumber daya alam migas tidak terjaga,” tandasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)