JAKARTA – Pemerintah meminta PT Pertamina (Persero) tidak berlama-lama melakukan kajian terhadap blok terminasi East Kalimantan. Jika dianggap tidak memenuhi nilai keekonomian, Pertamina diminta segera kembalikan blok tersebut kepada pemerintah.

“Untuk Blok East Kalimantan, kita menyarankan kalau seandainya tidak ekonomis langsung dikembalikan ke pemerintah,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Rabu (5/7).

Pertamina sebelumnya telah menyerahkan hasil kajian terhadap delapan blok terminasi, termasuk Blok East Kalimantan. Pertamina meminta tambahan waktu untuk mengkaji keekonomian blok yang saat ini dioperasikan PT Chevron Pacific Indonesia itu hingga September 2017.

Menurut Arcandra, tambahan waktu yang diminta Pertamina justru berpotensi menghilangkan kesempatan East Kalimantan untuk mendapatkan operator baru.
“Ini waktunya ticking. Karena waktu ticking, maka kita menginginkan kalau tidak mau ambil, kita cepat lelang bagi yang berminat,” ungkap dia.

Kontrak Chevron di Blok East Kalimantan akan berakhir pada Oktober 2018. Pemerintah pun telah memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan blok tersebut ke Pertamina. Namun, pengelolaan blok tersebut oleh Pertamina akan menggunakan skema kontrak bagi hasil yang baru, yakni gross split dan juga kewajiban pembayaran pemulihan lapangan (abandonment site restoration/ASR).

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengungkapkan kewajiban ASR yang ditanggung perseroan sebagai kontraktor baru merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan Pertamina memerlukan waktu tambahan untuk menghitung keekonomian Blok East Kalimantan.

Bahkan dengan adanya tambahan split atau bagi hasil dari deskresi Menteri ESDM sebesar lima persen, pengelolaan East Kalimantan tetap menjadi beban cukup besar bagi perusahaan jika ASR masih harus ditanggung Pertamina.

“Kalau tidak ada dana ASR mungkin masih oke. Itu kita coba simulasi pakai PSC konvensional dan ada dana ASR berat. Sekalipun ada tambahan 5% tetap berat,” tandas Syamsu.(RI)