JAKARTA–  Sejumlah kalangan meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif sebelum menerapkan skema bagi hasil gross revenue split  di sektor hulu migas untuk menggantikan skema cost recovery. Perubahan skema yang tergesa-gesa dapat merugikan negara sekaligus bisa memengaruhi iklim investasi sektor hulu migas di Tanah Air.

“Kami minta gross split dikaji sebelum diimplementasikan karena ini soal kedaulatan negara,” kata anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Satya Widya Yudha dalam Forum Bisnis Pengembangan Migas di Kawasan Natuna yang digelar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) di Jakarta, Selasa.

Skema gross revenue split yang direncanakan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral merupakan salah satu solusi untuk menekan dana yang dialokasikan tiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penggantian biaya operasi hulu migas (cost recovery). Menurut rencana, pemerintah akan mengkaji sistem kontrak bagi hasil gross split untuk pengembangan migas konvensional. Dengan sistem ini, tidak ada lagi  cost recovery yang biasanya harus dikembalikan Pemerintah karena seluruh  biaya operasi ditanggung oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

 

Pengeboran

Pengeboran

Menurut Satya skema tersebut tidak menyederhanakan proses karena dihapuskannya cost recovery. Menurut dia, cost recovery tetap ada, hanya saja telah diprediksikan sejak awal. Misalnya, skema tersebut sejak awal menjamin gross revenue split yang didapatkan pemerintah tidak kurang dari 50 persen.

Cost recovery ini sudah diproyeksikan masuk gross revenue, jadi menguntungkan dari sisi perencanaan anggaran negara. Kementerian Keuangan sih senang karena tidak perlu pikirkan pembengkakan cost recovery,” jelasnya.

Dia juga mengingatkan dengan skema baru tersebut, pemerintah akan kehilangan haknya untuk mengintervensi. Dengan demikian, keberadaan negara jadi sangat berkurang.

Satya juga khawatir jika skema tersebut murni diterapkan akan menyulitkan penyerapan tenaga kerja lokal serta dampak ganda terhadap masyarakat setempat. “Kalau mekanisme PSC (Production Sharing Contract) konvensional kan pemerintah masih mungkin masuk. Ada transfer teknologi juga sehingga ada keberadaan negara,” katanya.

Satya mengatakan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam penting agar sesuai dengan konstitusi. “Jangan sampai kita sederhanakan masalah, tidak pula kita semata pikirkan pendapatan negara saja, tapi sejauh mana kedaulatan negara ada. Untuk apa juga cepat (pengembangannya) kalau mengangkangi kedaulatan,” katanya.

Komite Eksplorasi Nasional (KEN) menilai menilai opsi skema bagi hasil berupa gross split akan sulit diterapkan untuk blok minyak dan gas bumi (migas) konvensional. Sekretaris KEN Muhammad Sani menjelaskan, skema bagi hasil gross split sulit diterapkan karena tidak mengenal adanya pemulihan biaya operasi di sektor hulu migas yang akan memengaruhi tarik investasi. “Cost recovery kan salah satu daya tarik migas konvensional,” katanya.

Skema gross split memang berbeda dengan skema kontrak bagi hasil karena tidak menggunakan sistem cost recovery. Perhitungan bagi hasilnya masih kotor, yakni bagi hasil dihitung sebelum pengurangan biaya operasi. Sistem bagi hasilnya bersifat progresif, ditentukan oleh jumlah produksi atau harga minyak dunia. Kemudian diakumulasikan dalam satu tahun. Sementara pada skema PSC, bagi hasil untuk negara biasanya 80 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas.

Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), mengaku belum mengetahui bagaimana mekanisme penerapan gross revenue split untuk industri hulu migas. Menurut dia, penerapan kebijakan ini harus hati-hati karena menyangkut kedaulatan negara. “Jika ini diterapkan,  seluruh aset nanti milik KKKS bukan lagi milik negara,” ujar Syamsu  kepada Dunia-Energi.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, 22 November lalu, menjelaskan sistem bagi hasil gross split meniadakan cost recovery yang selama ini kerap menjadi perdebatan antara Pemerintah, DPR dan KKKS. “Terserah aja mereka mau kerja naik sepeda atau naik becak kek, mau naik apa. Tinggal kita waktu perhitungan gross split-nya harus bagus sekali,” kata Jonan.

IGN Wiratmaja Puja, Dirjen Migas Kementerian ESDM, menambahkan, sistem gross split akan diberlakukan untuk kontrak baru. Sistem ini dinilai lebih simpel dan prosesnya juga lebih cepat. “Pengerjaan lebih cepat karena lebih efisien. Mereka (KKKS)  silakan lebih efisien, yang penting safety-nya kita jaga. TKDN kita jaga,” tambahnya.

Pada awal pemberlakuan kontrak bagi hasil di Indonesia puluhan tahun silam, juga berbentuk gross split. Kontrak bentuk ini kemudian ditiru oleh berbagai negara. Beberapa negara yang memberlakukan sistem gross split dan terhitung sukses adalah China dan Afrika. Aturan terkait kontrak bagi hasil gross split saat ini dalam proses penyusunan dan diharapkan rampung dalam waktu dekat.

Gross split  telah diberlakukan untuk pengembangan migas non konvensional yang tercantum dalam Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. (RI/DR)